MAKALAH
(Analisis
Kebijakan Bab IV pasal 10 UU No. 14 Tahun 2005
Tentang
Guru dan Dosen)
TENTANG KOMPETENSI PROFESIONAL GURU
DIPANDANG DARI ASPEK SOSIAL,EKONOMI,BUDAYA,POLITIK DAN AGAMA ISLAM
Diajukan untuk Mememnuhi Tugas
Mata Kuliah
Analisis Kebijakan Pendidikan Islam
Dosen : Prof. Dr. Abdurrahman Assegaf, M.A
DISUSUN OLEH :
Nama : Achmad Zudin
NIM : 681.17.115
PROGRAM PASCA
SARJANA ( Kelas M.Pd.I )
UNIVERSITAS SAINS AL QUR’ANU
JAWA TENGAH
Di WONOSOBO
2016
BAB I.
PENDAHULUAN
Salah
satu upaya penting dalam meningkatkan mutu pendidikan adalah dengan
meningkatkan mutu guru
terlebih dahulu. Peranan
guru sangatlah menentukan keberhasilan proses pembelajaran di
sekolah, karena guru memiliki andil yang cukup besar dalam proses belajar mengajar.
Guru yang baik akan mencetak siswa yang baik pula, begitu pula sebaliknya.Namun
pada saat ini, menjadi guru yang baik saja tidak cukup. Persaingan yang ketat
dan upaya peningkatan mutu pendidikan yang terus digalakan oleh pemerintah menuntut
guru semakin memperbaiki kinerjanya.[1]Pada pasal 10 ayat 1 UUGD No 14 tahun 2005 menyebutkan
Kompetensi
guru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 meliputi kompetensi pedagogik,
kompetensi kepribadian,kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang
diperoleh melalui pendidikan profesi[2].
Profesionalitas guru memang menjadi salah satu syarat
utama mewujudkan pendidikan bermutu. Dan karenanya, pemerintah telah
mengupayakan langkah-langkah strategis untuk meningkatkan profesionalitas
guru-guru di Tanah Air. Dalam menjalankan
profesinya, seorang guru harus melakukan dua fungsi sekaligus yaitu; fungsinya
secara moral yang mana ia diharuskan membimbing anak didiknya tidak hanya
dengan kecerdasannya akan tetapi juga dengan rasa cinta, dan rasa tanggung
jawab yang tinggi. Dan juga menjalankan fungsi kedinasannya yaitu mendidik dan
membimbing para anak didiknya agar menjadi sumber daya manusia yang berkualitas
dan bermanfaat bagi pembangunan bangsa.[3]
Menyadari
begitu pentingnya peran guru, Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono
mencanangkan guru sebagai profesi pada tanggal 2 Desember 2004. Melalui
pencanangan ini diharapkan status sosial guru akan meningkat secara signifikan
dan tidak lagi hanya dilirik oleh mereka yang kepepet mencari kerja.[4]
Eksistensi guru tersebut dikukuhkan dalam UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan
Dosen (UUGD) yang ditandatangani Presiden RI pada 30 Desember 2005.
UU guru dan dosen memang sangat dibutuhkan
untuk melengkapi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional. Pasal 39 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional menyatakan bahwa pendidik merupakan tenaga profesional. Kedudukan
guru dan dosen sebagai tenaga profesional bertujuan untuk melaksanakan sistem
pendidikan nasional dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yaitu
berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung
jawab.[5]
Kedudukan guru sebagai
tenaga profesional berfungsi untuk meningkatkan martabat guru serta perannya
sebagai agen pembelajaran untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional. Sejalan dengan
fungsi tersebut, kedudukan guru sebagai tenaga profesional bertujuan untuk
melaksanakan sistem pendidikan nasional dan mewujudkan tujuan pendidikan
nasional, yakni berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis dan
bertanggung jawab.
Meskipun tujuan dari lahirnya UU tersebut
begitu mulai, tetapi tidaklah luput dari beberapa permasalahan dan kendala.
Guru profesional adalah guru yang mendapatkan sertifikat dari pemerintah, dan
berhak mendapatkan tunjangan profesi. Sementara guru-guru yang belum
mendapatkan sertifikat, seolah-olah dianggap sebagai guru yang belum
profesional. Padahal yang namanya guru, mendapat tunjangan profesi atau tidak,
tetaplah harus bekerja secara profesional. Hal tersebut kemudian mengakibatkan
terjadinya iri antar guru yang sudah sertifikasi dan yang belum, sehingga bisa
menjadi hambatan guru dalam melaksanakan tugasnya.
Profesionalitas guru yang sudah mendapatkan sertifikat
profesi itu sendiri masih dipertanyakan banyak pihak. Sertifikat profesi
seakan-akan hanya bersifat formalitas belaka, tidak menyentuh substansinya.
Oleh sebab itu, kriteria atau ukuran yang digunakan pemerintah sebagai syarat
guru mendapatkan sertifikat profesi perlu ditinjau lebih dalam.
Sebenarnya profesionalisme pendidik sudah didengungkan sejak tahun 1973 yang
dipelopori oleh Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP Bandung. Dan pada saat ini
melalui UPI yang notabene adalah satu – satunya yang bersetatus sebagai BHMN,
diharapkan mampu mencetak lulusan tenaga pendidik yang kompeten dan profesional
dibidangnya. Ditambah dengan ketatnya penjaringan terhadap calon mahasiswa di
UPI diharapkan mendapat input yang bagus sekaligus memiliki dedikasi yang
tinggi dalam profesi pendidik yang dipilihnya. Tidak hanya kemampuan
intelegensi saja yang diutamakan dalam penjaringan mahasiswa baru di UPI, akan
tetapi dedikasinya terhadap profesi yang dipilih oleh calon mahasiswanya lewat
tes minat bakat yang ketat. Sebaiknya keseriusan yang dilakukan UPI dalam
meningkatkan mutunya dapat dikiranya diikuti oleh LPTK – LPTK yang lain yang
tersebar diseluruh Indonesia. Sehingga pemerataan mutu pendidikan semakin
merata diseluruh pelosok bangsa, dan mahasiswanya dapat berjalan dengan kepala
tegak sekaligus bangga “Aku Ingin Menjadi Guru”![6].
Berdasarkan pemaparan di atas, makalah ini bermaksud menganalisis seberapa jauh kebijakan
UU No. 14 Tahun 2003 tentang Guru dan Dosen mengatur tentang profesionalisme
guru ditinjau dari aspek social,ekonomi,budaya,politik dan agama Islam untuk
kemudian dikaji kelemahan dan kelebihannya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kompetensi guru
Undang-Undang
Republik Indonesia nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, mengisyaratkan
bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar,
membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada
pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan
pendidikan menengah. Profesionalisme dalam pendidikan perlu dimaknai bahwa guru
haruslah orang yang memiliki instink sebagai pendidik, mengerti dan memahami
peserta didik. Guru harus menguasai secara mendalam minimal satu bidang
keilmuan. Guru harus memiliki sikap integritas profesional. Kedudukan guru
sebagai tenaga profesional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1)
berfungsi untuk meningkatkan martabat dan peran guru sebagai agen pembelajaran
berfungsi untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional. Yang dimaksud dengan
guru sebagai agen pembelajaran (learning agent) adalah peran guru antara lain
sebagai fasilitator, motivator, pemacu, perekayasa pembelajaran, dan pemberi
inspirasi belajar bagi peserta didik.[7]
.
Lebih dalam lagi pada pasal 10 ayat (1) UUGD dan Pasal 28 ayat 3 PP 19
tahun 2005 tentang SNP dijelaskan bahwa kompetensi guru yang dimaksud
meliputi:
a.
Kompetensi pedagogik;
b.
Kompetensi kepribadian;
c.
Kompetensi profesional; dan
d.
Kompetensi sosial.
Selain
mengatur hal-hal penting diatas, UUGD juga mengatur hal lain yang tak kalah
pentingnya bagi kemajuan dan kesejahteraan para guru.
Departemen Pendidikan
Nasional (2006:2) memberi pengertian kompetensi adalah kemampuan bersikap,
berfikir dan bertindak secara konsisten sebagai perwujudan dari pengetahuan,
sikap dan keterampilan yang dimiliki peserta didik. Dengan kata lain kompetensi
itu merupakan kemampuan unjuk kerja (ability to do) yang
dilatarbelakangi oleh penguasan, sikap dan keterampilan.Hal tersebut mengandung
arti bahwa kualitas unjuk kerja itu ditentukan oleh kualitas penguasaan
pengetahuan, sikap dan keterampilan. Semakin tinggi kualitas penguasaan
pengetahuan, sikap dan keterampilan, semakin tinggi juga kualitas unjuk
kerjanya dan sebaliknya. Jadi korelasi positif tinggi antara tingkat penguasaan
pengetahuan, sikap dan keterampilan dengan kompetensi yang terbentuk.
Pengertian kompetensi
seperti dijelaskan di atas merupakan pengertian kompetensi secara umum.
Pengertian kompetensi keguruan menurut (Surya dkk, 2004:4:24) adalah
seperangkat penguasaan kemampuan yang harus ada dalam diri guru agar dapat
mewujudkan penampilan unjuk kerja sebagai guru secara tepat. Untuk mewujudkan
penampilan unjuk kerja yang tepat tersebut, diperlukan beberapa kompetensi yang
harus dimiliki oleh seorang guru, yakni kompetensi pedagogik, kompetensi
profesional, kompetensi kepribadian, dan kompetensi[8].
B. Guru Profesional
Dalam Pasal 1 UU No 14 tahun 2005 tentang
Guru dan Dosen (selanjutnya disingkat UUGD) disebutkan bahwa Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik,
mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta
didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar,
dan pendidikan menengah.[9]
Guru
profesional sebagaimana
dimaksud dalam pasal tersebut adalah
pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber
penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang
memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi.[10]
Menurut
Oemar Hamalik, guru profesional, harus memiliki persyaratan yang meliputi:
memiliki bakat sebagai guru, memiliki keahlian sebagai guru, memiliki keahlian
yang baik dan terintegrasi, memiliki mental yang sehat, berbadan sehat,
memiliki pengalaman dan pengetahuan yang luas, guru adalah manusia berjiwa
pancasila, dan seorang warga negara yang baik.[11]
Apa yang disampaikan Oemar Hamalik tersebut, tidak
jauh beda dengan pasal yang tercantum dalam UUGD, pasal 8, 9, dan 10, sebagai
berikut:
Pasal 8: Guru wajib
memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani
dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan
nasional.
Pasal 9: Kualifikasi akademik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 diperoleh
melalui
pendidikan tinggi program sarjana atau program diploma empat.
Pasal 10: (1) Kompetensi guru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 meliputi
kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan
kompetensi
profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi.
Kemudian
dalam tugas keprofesionalannya, guru mempunyai tugas:
a.
merencanakan
pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran yang bermutu, serta menilai dan
mengevaluasi hasil pembelajaran;
b.
meningkatkan
dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi secara berkelanjutan
sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni;
c.
bertindak
objektif dan tidak diskriminatif atas dasar pertimbangan jenis kelamin, agama,
suku, ras, dan kondisi fisik tertentu, atau latar belakang keluarga, dan status
sosial ekonomi peserta didik dalam pembelajaran;
d.
menjunjung
tinggi peraturan perundang-undangan, hukum, dan kode etik guru, serta
nilai-nilai agama dan etika; dan
C. Profesionalisme guru di tinjau dari aspek sosial.
Secara
umum pengertian kinerja adalah ukuran kuantitatif dan kualitiatif yang
menggambarkan tingkat pencapaian suatu sasaran atau tujuan yang telah
ditetapkan dengan memperhitungkan indikator masukan, proses, dan output. Oleh
sebab itu, keterkaitan dengan kelembagaan termasuk sekolah kinerja adalah hasil
kerja yang dapat dicapai oleh seluruh warga sekolah di lembaga dengan wewenang
dan tanggung jawab untuk mencapai tujuan kelembagaan (sekolah). Guru sebagai
anggota dari organisasi sekolah mempunyai tugas pokok dan fungsi memberikan
pembelajaran, bimbingan dan pelatihan kepada para siswa, dapat dikatakan
efektif apabila memenuhi kriteria tertentu. Inti dari pelayanan adalah seluruh
aktivitas yang dilakukan untuk kepentingan pendidikan, mulai dari perencanaan,
pelaksanaan dan mengevaluasi belajar di depan kelas, atau di laboratorium. Oleh
sebab itu, kinerja guru dapat dikatakan efektif apabila dapat diukur seara
kuantitatif atau kualitatif. Namun demikian, aktivitas tersebut tidak ada
maknanya apabila hasil pelayanan yang diberikan tidak memberikan hasil belajar
kepada siswa yang sesuai dengan kriteria.
Keberhasilan
siswa sebagai output yang berupan peningkatan pengetahuan, keterampilan dan
sikap melalui penilaian yang objektif, merupakan salah satu cerminan pelayanan
guru[13].
Seorang profesional harus mampu berkaca pada dirinya sendiri, yang mencerminkan
satu pribadi. Seorang profesional harus dilandasi nilai nilai kemanusian, dan
kesadaran akan dampak lingkungan hidup dari efek pekerjaannya, serta mempunyai
nilai ekonomi bagi kemaslahatan masyarakat secara luas. Seorang profesional
mempunyai kebermaknaan ahli (expert), bertanggung jawab (responsibility) baik
intelektual maupun sikap dan moral dan memiliki rasa kesejawatan.[14]
D. Profesionalisme guru di tinjau dari aspek budaya.
Pendidik
sering pula disebut dengan guru, istilah guru sebagaimana dijelaskan oleh
Hadari Nawawi, adalah orang yang kerjanya mengajar atau memberikan pelajaran di
sekolah / kelas. Secara khusus ia mengatakan bahwa guru berarti orang yang
bekerja dalam bidang Pendidikan dan Pengajaran yang ikut bertanggung jawab
dalam membantu anak-anak mencapai kedewasaan masing-masing. Guru dalam
pengertian tersebut, menurutnya bukanlah sekedar orang yang berdiri di depan
kelas untuk menyampaikan materi pengetahuan tertentu, akan tetapi adalah anggota
masyarakat yang harus ikut aktif dan berjiwa untuk menjadi anggota masyarakat
sebagai orang dewasa[15].
Tujuan nasional bangsaIndonesia, salah satunya adalah mencerdaskan kehidupan
bangsa seperti dalam Pembukuan UUD 1945 alenia IV. Untuk mencerdaskan kehidupan
bangsa, salah satu komponen paling penting adalah guru. Guru dalam konteks
pendidikan mempunyai peranan besar dan strategis. Sebab, guru adalah orang yang
langsung berhadapan dengan murid (peserta didik) untuk mentransfer ilmu
pengetahuan sekaligus mendidik dengan nilai positif melalui bimbingan dan
keteladanan. Tugas guru dari hari ke hari makin berat seiring perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
Guru
sebagai komponen utama dalam dunia pendidikan, dituntut mengimbangi bahkan
melampaui ilmu perkembangan pengetahuan dan teknologi di masyarakat. Melalui
sentuhan guru, diharapkan mampu menghasilkan peserta didik yang memiliki
kompetensi tinggi dan siap menghadapi tantangan hidup dengan penuh keyakinan
dan percaya diri[16]. Pandangan masyarakat
umum sering dijumpai bahwa mutu sekolah atau keunggulan sekolah
dapat dilihat dari ukuran fisik sekolah, seperti gedung dan jumlah
ekstra kurikuler yang disediakan. Ada pula masyarakat yang berpendapat bahwa
kualitas sekolah dapat dilihat dari jumlah lulusan sekolah tersebut yang diterima
di jenjang pendidikan selanjutnya. Untuk dapat memahami kualitas pendidikan formal di
sekolah, perlu kiranya melihat pendidikan formal di sekolah sebagai suatu sistem.
Selanjutnya mutu sistem tergantung pada mutu komponen yang membentuk sistem,
serta proses yang berlangsung hingga membuahkan hasil[17]. Seiring dengan perkembangan zaman maka berkembang
pula peran dan tugas seorang guru,sehingga akan dapat memberikan kontribusi yang
optimal dan maksimal pada masyarakat.
D. Profesionalisme guru di tinjau dari aspek ekonomi.
Menurut Suyanto
(2003) program sertifikasi bagi guru merupakan salah satu cara yang dapat
digunakan untuk memotong mata rantai penyebab rendahnya kuailtas guru. Guru
sebagai sosok profesional harus memiliki kecakapan kerja yang selaras dengan
tuntutan bidang kerja yang ditekuni, sehingga mempunyai kewenangan yang jelas
dalam peningkatan kualitas masyarakat Indonesia[18]. Pengesahan
Undang-Undang Guru dan Dosen Nomor 14 Tahun 2005 menjadi penanda bahwa profesi
guru tidak hanya sebatas pengabdian dengan jaminan kesejahteraan minim. Dengan
keberadaan UU ini, guru adalah orang yang betul-betul profesional dengan
jaminan kesejahteraan memadai. Ini merupakan elan baru dalam dunia keguruan
Indonesia.
Dengan
jaminan UU ini, terdekonstruksilah makna profesionalisme guru yang dulunya
tidak diminati menjadi profesi yang paling diminati di antara profesi lainnya,
seperti ditunjukkan dari hasil jajak pendapat yang dilakukan Litbang Kompas
beberapa waktu lalu. Dari hasil jajak pendapat tersebut diketahui bahwa profesi
guru menjadi profesi yang paling diminati di antara profesi lain, seperti
dokter dan wartawan.Namun, dalam konteks pendidikan Indonesia, khususnya dunia
keguruan, gambaran tersebut baru berlaku setelah UU Guru dan Dosen disahkan.
Sebelumnya profesi guru tidak lebih seperti "pepesan kosong". Dari
luar kelihatannya sangat elok dan menarik, tetapi isinya kosong. Jabatan guru
memang mendapatkan tempat di hati masyarakat, tetapi ketika berbicara tentang
kesejahteraan, nilainya sangat minim (baca: kosong). Di Indonesia hal yang
linear itu tidak terjadi[19].
Sebagai bentuk penghargaan terhadap profesi guru, pemerintah memberikan reward(penghargaan) berupa:
Sebagai bentuk penghargaan terhadap profesi guru, pemerintah memberikan reward(penghargaan) berupa:
a. memperoleh penghasilan di atas kebutuhan
hidup minimum dan jaminan
kesejahteraan
sosial;
b. mendapatkan promosi dan penghargaan sesuai dengan tugas dan prestasi kerja;
c. memperoleh perlindungan dalam melaksanakan tugas dan hak atas kekayaan
b. mendapatkan promosi dan penghargaan sesuai dengan tugas dan prestasi kerja;
c. memperoleh perlindungan dalam melaksanakan tugas dan hak atas kekayaan
intelektual;
d. memperoleh kesempatan untuk meningkatkan kompetensi;
e. memperoleh dan memanfaatkan sarana dan prasarana pembelajaran untuk menunjang kelancaran tugas keprofesionalan;
f. memiliki kebebasan dalam memberikan penilaian dan ikut menentukan
d. memperoleh kesempatan untuk meningkatkan kompetensi;
e. memperoleh dan memanfaatkan sarana dan prasarana pembelajaran untuk menunjang kelancaran tugas keprofesionalan;
f. memiliki kebebasan dalam memberikan penilaian dan ikut menentukan
kelulusan,
penghargaan, dan/atau sanksi kepada peserta didik sesuai dengan
kaidah pendidikan,
kode etik guru, dan peraturan perundang-undangan;
g. memperoleh rasa aman dan jaminan keselamatan dalam melaksanakan tugas;
h. memiliki kebebasan untuk berserikat dalam organisasi profesi;
i. memiliki kesempatan untuk berperan dalam penentuan kebijakan pendidikan;
j. memperoleh kesempatan untuk mengembangkan dan meningkatkan kualifikasi
g. memperoleh rasa aman dan jaminan keselamatan dalam melaksanakan tugas;
h. memiliki kebebasan untuk berserikat dalam organisasi profesi;
i. memiliki kesempatan untuk berperan dalam penentuan kebijakan pendidikan;
j. memperoleh kesempatan untuk mengembangkan dan meningkatkan kualifikasi
akademik dan
kompetensi; dan/atau
k. Memperoleh pelatihan dan pengembangan. profesi dalam bidangnya.[20]
k. Memperoleh pelatihan dan pengembangan. profesi dalam bidangnya.[20]
Tujuan diberikan reward tersebut adalah untuk meningkatkan
profesionalisme dan kesejahteraan guru. Bentuk kesejahteraan yang sekarang
dapat dinikmati guru besertifikasi adalah mendapatkan tunjangan profesi yang
besarnya satu kali gaji sesuai dengan golongan dan masa kerja masing-masing.
Tunjangan tersebut tidak hanya guru yang berstatus PNS, tetapi juga swasta.
Sedangkan guru yang belum besertifikasi, pemerintah memberikan TPP (Tunjangan
Perbaikan Penghasilan) sebesar dua ratus lima puluh ribu rupiah
perbulan. Tunjangan sertifikasi yang diberikan ternyata tidak berbanding
lurus terhadap kinerja guru. Setelah diberlakukan sertifikasi sejak 2006 sampai
sekarang ternyata belum memiliki pengaruh signifikan dengan peningkatan
kualitas pendidikan dan guru. Sertifikasi yang bertujuan untuk standardisasi
kualitas guru berubah menjadi ajang mendapatkan kenaikan tunjangan semata,
sekadar formalitas dengan menunjukkan selembar portofolio yang mereka dapat
dengan cara-cara instan[21].
Penghargaan kepada
guru yang sudah sertifikasi tersebut juga telah memicu adanya kecemburuan
guru-guru yang lain. Kecemburuan ini mengakibatkan kinerja guru-guru
non-sertifikasi tidak maksimal dalam bekerja.
Semestinya tidak ada pengotak-kotakan guru dengan cara memisah antara guru bersertifikat profesi dan guru biasa (non-sertifikasi). Bukankah semua guru haruslah bekerja secara profesional? Kebijakan pemerintah untuk menaikkan kesejahteraan guru memang patut untuk dihargai, tetapi cara penanganannya masih setengah-setengah.
Ada sebuah ungkapan menarik dari Iwan Hermawan, Sekjen Forum Guru Independen Indonesia. Menurutnya, UUGD tidak mencerminkan upaya untuk meningkatkan kesejahteraan. Buktinya untuk sejahtera saja, guru harus memenuhi syarat yang ditetapkan oleh pemerintah[22].
Semestinya tidak ada pengotak-kotakan guru dengan cara memisah antara guru bersertifikat profesi dan guru biasa (non-sertifikasi). Bukankah semua guru haruslah bekerja secara profesional? Kebijakan pemerintah untuk menaikkan kesejahteraan guru memang patut untuk dihargai, tetapi cara penanganannya masih setengah-setengah.
Ada sebuah ungkapan menarik dari Iwan Hermawan, Sekjen Forum Guru Independen Indonesia. Menurutnya, UUGD tidak mencerminkan upaya untuk meningkatkan kesejahteraan. Buktinya untuk sejahtera saja, guru harus memenuhi syarat yang ditetapkan oleh pemerintah[22].
E. Profesionalisme guru di tinjau dari aspek politik.
Kebijakan pemerintah tentang rencana sertifikasi bagi
guru-guru juga melahirkan fenomena baru dalam dunia pendidikan di
Indonesia. Apalagi, guru-guru yang sampai saat ini belum menempuh pendidikan
strata satu atau guru yang sudah lama mengajar tetapi bukan berlatar belakang
pendidikan (baca: tidak memiliki akta mengajar). Para guru yang selama ini
sudah mengajar anak didiknya dengan penuh tanggung jawab dan kecintaannya
untuk mengabdikan diri dalam lingkungan pendidikan menjadi takut kehilangan
kesempatannya untuk mengajar, hanya karena belum lulus S-1 atau tidak memiliki
akta mengajar. Mereka menjadi kalang kabut, sehingga mereka menjadi latah,
cepat-cepat mengikuti S-1 dan mendapatkan akta mengajar. Rasa takut yang
berlebihan mengakibatkan mereka tidak berpikir panjang untuk mencari kejelasan
tentang informasi tersebut dan bersabar menunggu kepastian akan kebijakan
tersebut. Mereka sudah tidak memikirkan lagi tentang biaya pendidikan atau
kewajiban mengajarnya, bahkan lembaga pendidikan yang akan mereka masuki. Yang
penting bagi mereka adalah cepat-cepat menyelesaikan S-1 dan memiliki akta
mengajar, karena mereka tidak mau diberhentikan dari pekerjaannya sebagai pengajar.[23] Untuk mengukur keempat kompetensi tersebut, pemerintah menyelenggarakan program sertifikasi guru. Sertifikasi adalah
proses pemberian sertifikat pendidik untuk guru yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang memiliki
program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi dan ditetapkan oleh
Pemerintah, dilaksanakan
secara objektif, transparan, dan akuntabel.Bagi yang lulus sertifikasi, maka
mereka mendapatkan sertifikat sebagai guru professional sesuai dengan mata
pelajaran yang diampu.
Ketentuan
lebih lanjut mengenai sertifikasi tidak
disebutkan secara detail di UUGD dan telah dibuat peraturan pemerintah yang
memuat secara khusus berkaitan dengan sertifikasi. Aturan tersebut adalah Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru dan Peraturan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2012 Tentang Sertifikasi Bagi
Guru Dalam Jabatan. Dalam
ketentuan lanjutan itulah banyak persoalan muncul. Kita tahu, sebelum tahun 2011, pola sertifikasi melalui portofolio, sementara bagi
yang belum lulus mengikuti pendidikan dan pelatihan profesi guru (PLPG). Pola
tersebut berubah pada tahun 2011 ini, pemerintah mengubah kebijakannya dengan
memperbanyak alokasi PLPG, dan portofolio hanya 1%.
Portofolio
sendiri banyak mengalami kendala karena banyaknya guru-guru yang disinyalir
memalsukan sertifikat-sertifikat atau penghargaan untuk mendapatkan nilai yang
baik. Sedangkan dalam PLPG, yang diujikan adalah kompetensi pedagogik guru,
sementara dua kompetensi yang lain, yakni kepribadian dan sosial tidak jelas
bagaimana cara mengukurnya.
Selain itu, syarat untuk bisa mengikuti PLPG
juga patut dikritisi. Dalam buku pedoman sertifikasi guru 2012, disebutkan
bahwa syarat untuk mengikuti sertifikasi guru adalah minimal guru sudah
mengajar sebelum UUGD ditetapkan, yakni sebelum tanggal 30 Desember 2005.
Syarat ini tentu membuat guru-guru yang baru harus menunggu mengajukan
sertifikasi.
Menyerahkan pendidikan guru pada sebuah lembaga
khusus juga akan membawa akibat, pertama yang paling mungkin adalah pergeseran
makna kualitas yang hanya ditetapkan melalui sertifikat. Kualitas guru yang
paling mungkin tahu adalah peserta didik dan lingkungan tempat guru mengajar.
Hal yang sama pula menyangkut kebutuhan guru seperti apa yang dibutuhkan hanya
lingkungan sekolah itu yang tahu. Sebaiknya upaya untuk meningkatkan kualitas
tidak saja bersandar apda lembaga pendidikan melainkan juga menggali kritik,
saran, dan pertimbangan publik.[24]
C.
Guru Profesional dalam Perspektif Islam
Guru sebagai
tulang punggung pendidikan Islam memiliki eksistensi yang sangat kuat. Dalam
pendidikan Islam menurut Syekh az-Zamuji dalam kitabnya Ta’lim Muta’lim di
antara syarat seseorang untuk dapat belajar dengan sukses adalah menghormati
guru sama seperti menghormati ilmu. Santri (siswa) tidak akan memperoleh ilmu
dan mendapat manfaatnya tanpa menghormati ilmu dan gurunya. Demikian besar
posisi dan fungsi guru sehingga menghormatinya itu lebih baik dibandingkan
sekedar mentaatinya. Menurut kitab rujukan utama para santri ini, manusia
tidak dianggap kufur karena bermaksiat. Tetapi manusia menjadi kufur karena
tidak menghormati atau memuliakan perintah Allah.
Dalam
lingkungan pondok pesantren sebagai salah satu miniatur pendidikan Islam,
seorang guru tidak disyaratkan memiliki kualifikasi pendidikan tertentu. Tidak
ada catatan sejarahnya seorang guru yang akan mengajar diminta keterangan
ijazah pendidikan tertentu. Sekalipun puluhan tahun belajar dari satu pesantren
ke pesantren yang lain, bukan ijazah yang dilihat oleh masyarakat tapi
kemampuannya (kompetensi) dalam mengamalkan ilmu dan manfaatnya bagi
masyarakat. Kompetensi amaliah ini kemudian melahirkan stratifikasi guru agama.
Bila hanya lingkup kecil biasanya cukup disebut ustadz. Namun bila pengaruhnya
sudah luas apalagi ditambah dengan kemampuannya memimpin pesantren dengan
santri banyak, maka akan tersanding sertifikat gelar Kyai (di Sunda ajeungan).
Tidak setiap orang bisa memperoleh sertifikat ini, karena masyarakat memberikan
khusus kepada orang tertentu dengan kriteria tertentu. Bahkan bila ada guru
agama yang telah mencapai gelar terhormat ini kemudian memiliki sifat dan sikap
yang tidak sesuai dengan kualifikasinya, maka gelar tersebut akan dicabut
kembali oleh masyarakat.[25]
Dalam perspektif Islam, seorang pendidik (guru) akan berhasil
menjalankan tugasnya apabila memiliki pikiran kreatif dan terpadu serta mempunyai
kompetensi profesional religius.[26]Yang
dimaksud kompetensi profesional religius sebagaimana di atas adalah kemampuan
untuk menjalankan tugasnya secara profesional. Artinya, mmampu membuat
keputusan keahlian atas beragamnya kasus serta mampu mempertanggungjawabkannya
berdasarkan teori dan wawasan keahliannya dalam perspektif Islam.[27]
Allah
berfirman:
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ
بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ
عَنْهُ مَسْئُولًا
Artinya :
Dan
janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mengetahui pengetahuan tentang hal
itu, (karena) sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu
akan di tanga. (Q.S. Al-Isra’ [17]: 36)
Firman di atas sudah sangat tegas menjelaskan bahwa
seorang guru mestilah memiliki kompetensi profesional sebagaimana diamanatkan
dalam UUGD. Dalam kaitan ini, al-Ghazali pernah berkata, “ Hendaklah guru
mengamalkan ilmunya, jangan perkataannya membohongi perbuatannya. Perumpamaan
guru yang membimbing murid, bgaikan ukiran dan tanah liat atau bayangan dengan
tongkat. Bagaimana mungkin tanah liat dapat terukir sendiri tanpa ada alat
untuk mengukirnya dan bagaimana mungkin bayangan akan lurus akalu bengkok
tongkatnya.”[28]
Memang, adakalanya seroang guru dalam mengajar menemui
permasalahan. Keadaan yang demikian mengharuskan adanya suatu program yang
disebut on-service training. Kegiatan ini dapat dilakukan dengan mengadakan
pertemuan berkala dan rutin di antara para guru yang mempunyai bagian sama,
sehingga terjadi tukar pikiran di antara para guru itu dalam mencari alternatif
pemecahannya.[29]
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Peranan guru
sangatlah menentukan keberhasilan proses pembelajaran di
sekolah, karena guru memiliki andil yang cukup besar dalam proses belajar mengajar.
Guru yang baik akan mencetak siswa yang baik pula, begitu pula sebaliknya.Namun
pada saat ini, menjadi guru yang baik saja tidak cukup. Persaingan yang ketat dan upaya peningkatan mutu
pendidikan yang terus digalakan oleh pemerintah menuntut guru semakin memperbaiki
kinerjanya.[30]Pada pasal
10 ayat 1 UUGD No 14 tahun 2005 menyebutkan Kompetensi guru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 meliputi
kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian,kompetensi sosial, dan kompetensi
profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi.
Kedudukan guru sebagai tenaga profesional berfungsi
untuk meningkatkan martabat guru serta perannya sebagai agen pembelajaran untuk
meningkatkan mutu pendidikan nasional.
Misi dari UUGD ini tidak lain adalah untuk
meningkatkan kualitas pendidikan, salah satunya adalah dengan meningkatkan
keprofesionalan guru. Sayangnya, dalam teknis pelaksanaanya
beberapa pasal yang mengatur keprofesionalan
guru
mengalami hambatan dan kendala baik teknis maupun teoritis.
Membaca
UUGD ini kita seperti berhadapan
dengan utopia negara tentang pekerjaan mendidik, yang sama halnya dengan karyawan. Seorang
yang ingin dikatakan guru
profesional maka harus memiliki sertifikat profesi, yang mana sertifikat tersebut mesti di up date
melalui uji kompetensi. Profesionalitas
guru yang sudah mendapatkan sertifikat profesi itu sendiri masih dipertanyakan
banyak pihak. Sertifikat profesi seakan-akan hanya bersifat formalitas belaka,
tidak menyentuh substansinya. Oleh sebab itu, kriteria atau ukuran yang
digunakan pemerintah sebagai syarat guru mendapatkan sertifikat profesi perlu
ditinjau lebih dalam.Pemberian tunjangan profesi yang tidak merata dengan
syarat-syarat yang berat juga telah menimbulkan kecemburuan di kalangan guru,
yang berimbas pada kinerja.
B.
SARAN KEBIJAKAN
1. Undang-undang No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen
sudah semestinya untuk ditinjau kembali untuk kemudian direvisi pada
pasal-pasal yang kurang bijaksana.
2. Guru memang sudah selayaknya mendapatkan tunjangan
profesi, dan semestinya pemerintah tidak pilih kasih memberikan kesejahteraan
kepada guru. Sebab, semua guru, baik PNS maupun GTT,baik yang sertifikasi atau
belum mesti bekerja secara profesional, dan karenanya patut untuk mendapatkan
kesejahteraan yang sama.
3. Pemerintah sudah seharusnya memberikan peraturan yang
bersifat husus bagi para guru,sehingga akan dapat mencurahkan semua
keilmuannya,tapi kenyataan sekarang adalah pengekangan yang diatas namakan
PP,SK Menteri,SKDirjen dal lain sebagainya terhadap para guru.
4. Sudah menjadi keharusan bagi pemerintah membedakan
antara guru dan pegawai lainnya,baik dari segi peraturan dan kebijaksanaan.
5. Kepala sekolah/madrasah sudah semestinya melakukan
supervisi terhadap semua guru lebih lebih pada guru yang sudah bersertifikasi
agar dapat selalu terpantau kinerjanya.
6. Pengawas sekolah/madrasah juga secara rutin dan
terprogram melakukan supervisi terhadap guru – guru.
7. Dengan adanya sertifikasi guru profesionalisme guru
perlu dikaji karena dengan perkembengan zaman hal itu menyebabkan guru bergaya
hidup konsumtif,asal mengisi absen kedatangan,asal membuat RPP semua serba
asal.
8. Dikalangan masyarakat sikap para guru sudah banyak
yang enggan berkomunikasi dengan masyarakat.
9. Kinerja para guru sudah jauh dari unsur agama Islam
yaitu pekerjaan pendidik adalah ibadah,sehingga nilai keikhlasan dan perjuangan
sudah ditinggalkan.
10. Pemerintah agar selalu mengevaluasi hasil dari
Sertifikasi guru dan ditindaklanjuti.
DAFTAR PUSTAKA
http://dokumen.tips/documents/makalah-kompetensi-profesional-guru-55c38ca312003.html diunduh tanggal 5 april 2016
https://harunalrasyidleutuan.wordpress.com/2010/01/22/frofesi-guru-dan-permasalahannya-profesional-guru-dan-permasalahannya/
https://suharpaistaid.files.wordpress.com/2011/02/kinerja-guru1.pdf\ diunduh
tanggal 5 april 2016
http://imadiklus.com/guru-atau-pembelajar-dalam-perspektif-kebudayaan/
http://rohmadsetyowibowo.blogspot.co.id/2013/06/analisis-kompetensi-guru-dalam.html
http://gianadea.blogspot.co.id/2009/06/profesionalisme-guru.html.
Darmaningtyas.
2005. Ilusi tentang Guru dan Profesionalisme, Yogyakarta: Universitas
Sanata Dharma,.
Eko Prasetyo. 2007. Guru, Mendidik itu Melawan,
Cet. 2. Jogjakarta: Resist Book.
Hamalik, Oemar.
2001.
Proses Belajar Mengajar. Jakarta. Bumi Aksara.
Muhaimin, Dkk. 1999. Kontroversi Pemkiran Fazlur Rahman:
Sudi Kritis Pembaharuan Pendidikan Islam, Dinamika: Cirebon.
Muhaminin dan Abdul Mujib. 1993. Pemiiran Pendidikan IslamL Kajian Filosofi
dan Kerangka Dasar Operasionalisasinya. Trigenda Karya: Bandung.
Musbikin, Imam. 2010. Guru yang Menakjubkan. Buku
Biru: Yogyakarta.
Natsir, Nanat Fatah. 2007. Jurnal EDUCATIONIST No. I Vol. I Januari 2007, Pemberdayaan
Kualitas Guru
Dalam Perspektif Pendidikan Islam, UPI:
Bandung.
Suara
Merdeka, 1 Oktober 2010 (Berita)
Sulaiman, Tathiyah Hasan, 1986. Alam Pikiran
al-Ghazali Mengenai Pendidikan dan Ilmu. CV. Diponegoro: Bandung.
UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen
[1] http://dokumen.tips/documents/makalah-kompetensi-profesional-guru-55c38ca312003.html diunduh tanggal 5 april 2016
[4] Darmaningtyas. 2005. Ilusi tentang Guru dan
Profesionalisme, Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma. Hlm. 197.
[7] https://harunalrasyidleutuan.wordpress.com/2010/01/22/frofesi-guru-dan-permasalahannya-profesional-guru-dan-permasalahannya/
[8] https://harunalrasyidleutuan.wordpress.com/2010/01/22/frofesi-guru-dan-permasalahannya-profesional-guru-dan-permasalahannya/
[11] Hamalik, Oemar. 2001. Proses Belajar
Mengajar. Jakarta. Bumi Aksara. Hal. 118.
[13] https://suharpaistaid.files.wordpress.com/2011/02/kinerja-guru1.pdf\ diunduh tanggal 5 april 2016
[18] https://id03r.wordpress.com/2007/06/16/hello-world/
[19] http://gianadea.blogspot.co.id/2009/06/profesionalisme-guru.html
[25] Natsir, Nanat Fatah, 2007. Jurnal
EDUCATIONIST No. I Vol. I Januari 2007, Pemberdayaan
Kualitas Guru Dalam Perspektif Pendidikan Islam, UPI:
Bandung., hlm. 27.
[26] Muhaimin, Dkk. 1999. Kontroversi Pemkiran Fazlur Rahman: Sudi Kritis
Pembaharuan Pendidikan Islam, Dinamika: Cirebon. Hlm. 115.
[27] Muhaminin
dan Abdul Mujib. 1993. Pemiiran
Pendidikan IslamL Kajian Filosofi dan Kerangka Dasar Operasionalisasinya.
Trigenda Karya: Bandung. Hlm. 173
[28] Sulaiman, Tathiyah Hasan, 1986. Alam Pikiran al-Ghazali Mengenai
Pendidikan dan Ilmu. CV. Diponegoro: Bandung. Hlm. 56.
[30] http://dokumen.tips/documents/makalah-kompetensi-profesional-guru-55c38ca312003.html diunduh tanggal 5 april 2016
0 komentar:
Posting Komentar