Jumat, 10 Maret 2017

(Analisis Kebijakan Bab IV pasal 10 UU No. 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen) TENTANG KOMPETENSI PROFESIONAL GURU DIPANDANG DARI ASPEK SOSIAL,EKONOMI,BUDAYA,POLITIK DAN AGAMA ISLAM

MAKALAH
(Analisis Kebijakan Bab IV pasal 10 UU No. 14 Tahun 2005
Tentang Guru dan Dosen)
TENTANG KOMPETENSI PROFESIONAL GURU DIPANDANG DARI ASPEK SOSIAL,EKONOMI,BUDAYA,POLITIK DAN AGAMA ISLAM
 








Diajukan untuk Mememnuhi Tugas
Mata Kuliah Analisis Kebijakan Pendidikan Islam
Dosen : Prof. Dr. Abdurrahman Assegaf, M.A

DISUSUN OLEH :
Nama    : Achmad Zudin
NIM      : 681.17.115

PROGRAM PASCA SARJANA ( Kelas M.Pd.I )
UNIVERSITAS SAINS AL QUR’ANU JAWA TENGAH
Di WONOSOBO
2016
BAB I.
PENDAHULUAN
Salah satu upaya penting dalam meningkatkan mutu pendidikan adalah dengan meningkatkan   mutu   guru   terlebih   dahulu.   Peranan   guru   sangatlah   menentukan keberhasilan proses pembelajaran di sekolah, karena guru memiliki andil yang cukup besar dalam proses belajar mengajar. Guru yang baik akan mencetak siswa yang baik pula, begitu pula sebaliknya.Namun pada saat ini, menjadi guru yang baik saja tidak cukup. Persaingan yang ketat dan upaya peningkatan mutu pendidikan yang terus digalakan oleh pemerintah menuntut guru semakin memperbaiki kinerjanya.[1]Pada pasal 10 ayat 1 UUGD No 14 tahun 2005 menyebutkan Kompetensi guru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian,kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi[2].
Profesionalitas guru memang menjadi salah satu syarat utama mewujudkan pendidikan bermutu. Dan karenanya, pemerintah telah mengupayakan langkah-langkah strategis untuk meningkatkan profesionalitas guru-guru di Tanah Air. Dalam menjalankan profesinya, seorang guru harus melakukan dua fungsi sekaligus yaitu; fungsinya secara moral yang mana ia diharuskan membimbing anak didiknya tidak hanya dengan kecerdasannya akan tetapi juga dengan rasa cinta, dan rasa tanggung jawab yang tinggi. Dan juga menjalankan fungsi kedinasannya yaitu mendidik dan membimbing para anak didiknya agar menjadi sumber daya manusia yang berkualitas dan bermanfaat bagi pembangunan bangsa.[3]
Menyadari begitu pentingnya peran guru, Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono mencanangkan guru sebagai profesi pada tanggal 2 Desember 2004. Melalui pencanangan ini diharapkan status sosial guru akan meningkat secara signifikan dan tidak lagi hanya dilirik oleh mereka yang kepepet mencari kerja.[4] Eksistensi guru tersebut dikukuhkan dalam UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (UUGD) yang ditandatangani Presiden RI pada 30 Desember 2005.
UU guru dan dosen memang sangat dibutuhkan untuk melengkapi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pasal 39 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa pendidik merupakan tenaga profesional. Kedudukan guru dan dosen sebagai tenaga profesional bertujuan untuk melaksanakan sistem pendidikan nasional dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yaitu berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.[5]
Kedudukan guru sebagai tenaga profesional berfungsi untuk meningkatkan martabat guru serta perannya sebagai agen pembelajaran untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional. Sejalan dengan fungsi tersebut, kedudukan guru sebagai tenaga profesional bertujuan untuk melaksanakan sistem pendidikan nasional dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional, yakni berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.
Meskipun tujuan dari lahirnya UU tersebut begitu mulai, tetapi tidaklah luput dari beberapa permasalahan dan kendala. Guru profesional adalah guru yang mendapatkan sertifikat dari pemerintah, dan berhak mendapatkan tunjangan profesi. Sementara guru-guru yang belum mendapatkan sertifikat, seolah-olah dianggap sebagai guru yang belum profesional. Padahal yang namanya guru, mendapat tunjangan profesi atau tidak, tetaplah harus bekerja secara profesional. Hal tersebut kemudian mengakibatkan terjadinya iri antar guru yang sudah sertifikasi dan yang belum, sehingga bisa menjadi hambatan guru dalam melaksanakan tugasnya.
Profesionalitas guru yang sudah mendapatkan sertifikat profesi itu sendiri masih dipertanyakan banyak pihak. Sertifikat profesi seakan-akan hanya bersifat formalitas belaka, tidak menyentuh substansinya. Oleh sebab itu, kriteria atau ukuran yang digunakan pemerintah sebagai syarat guru mendapatkan sertifikat profesi perlu ditinjau lebih dalam. Sebenarnya profesionalisme pendidik sudah didengungkan sejak tahun 1973 yang dipelopori oleh Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP Bandung. Dan pada saat ini melalui UPI yang notabene adalah satu – satunya yang bersetatus sebagai BHMN, diharapkan mampu mencetak lulusan tenaga pendidik yang kompeten dan profesional dibidangnya. Ditambah dengan ketatnya penjaringan terhadap calon mahasiswa di UPI diharapkan mendapat input yang bagus sekaligus memiliki dedikasi yang tinggi dalam profesi pendidik yang dipilihnya. Tidak hanya kemampuan intelegensi saja yang diutamakan dalam penjaringan mahasiswa baru di UPI, akan tetapi dedikasinya terhadap profesi yang dipilih oleh calon mahasiswanya lewat tes minat bakat yang ketat. Sebaiknya keseriusan yang dilakukan UPI dalam meningkatkan mutunya dapat dikiranya diikuti oleh LPTK – LPTK yang lain yang tersebar diseluruh Indonesia. Sehingga pemerataan mutu pendidikan semakin merata diseluruh pelosok bangsa, dan mahasiswanya dapat berjalan dengan kepala tegak sekaligus bangga “Aku Ingin Menjadi Guru”![6].
Berdasarkan pemaparan di atas, makalah ini bermaksud menganalisis seberapa jauh kebijakan UU No. 14 Tahun 2003 tentang Guru dan Dosen mengatur tentang profesionalisme guru ditinjau dari aspek social,ekonomi,budaya,politik dan agama Islam untuk kemudian dikaji kelemahan dan kelebihannya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.      Kompetensi guru
Undang-Undang Republik Indonesia nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, mengisyaratkan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Profesionalisme dalam pendidikan perlu dimaknai bahwa guru haruslah orang yang memiliki instink sebagai pendidik, mengerti dan memahami peserta didik. Guru harus menguasai secara mendalam minimal satu bidang keilmuan. Guru harus memiliki sikap integritas profesional. Kedudukan guru sebagai tenaga profesional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) berfungsi untuk meningkatkan martabat dan peran guru sebagai agen pembelajaran berfungsi untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional. Yang dimaksud dengan guru sebagai agen pembelajaran (learning agent) adalah peran guru antara lain sebagai fasilitator, motivator, pemacu, perekayasa pembelajaran, dan pemberi inspirasi belajar bagi peserta didik.[7]
. Lebih dalam lagi pada pasal 10 ayat (1) UUGD dan Pasal 28 ayat 3 PP 19 tahun 2005 tentang SNP dijelaskan bahwa kompetensi guru yang dimaksud meliputi:
a. Kompetensi pedagogik;
b. Kompetensi kepribadian;
c. Kompetensi profesional; dan
d. Kompetensi sosial.
Selain mengatur hal-hal penting diatas, UUGD juga mengatur hal lain yang tak kalah pentingnya bagi kemajuan dan kesejahteraan para guru.

Departemen Pendidikan Nasional (2006:2) memberi pengertian kompetensi adalah kemampuan bersikap, berfikir dan bertindak secara konsisten sebagai perwujudan dari pengetahuan, sikap dan keterampilan yang dimiliki peserta didik. Dengan kata lain kompetensi itu merupakan kemampuan unjuk kerja (ability to do) yang dilatarbelakangi oleh penguasan, sikap dan keterampilan.Hal tersebut mengandung arti bahwa kualitas unjuk kerja itu ditentukan oleh kualitas penguasaan pengetahuan, sikap dan keterampilan. Semakin tinggi kualitas penguasaan pengetahuan, sikap dan keterampilan, semakin tinggi juga kualitas unjuk kerjanya dan sebaliknya. Jadi korelasi positif tinggi antara tingkat penguasaan pengetahuan, sikap dan keterampilan dengan kompetensi yang terbentuk.
Pengertian kompetensi seperti dijelaskan di atas merupakan pengertian kompetensi secara umum. Pengertian kompetensi keguruan menurut (Surya dkk, 2004:4:24) adalah seperangkat penguasaan kemampuan yang harus ada dalam diri guru agar dapat mewujudkan penampilan unjuk kerja sebagai guru secara tepat. Untuk mewujudkan penampilan unjuk kerja yang tepat tersebut, diperlukan beberapa kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang guru, yakni kompetensi pedagogik, kompetensi profesional, kompetensi kepribadian, dan kompetensi[8].
B. Guru Profesional
Dalam Pasal 1 UU No 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen (selanjutnya disingkat UUGD) disebutkan bahwa Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.[9]
Guru profesional sebagaimana dimaksud dalam pasal tersebut adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi.[10]
Menurut Oemar Hamalik, guru profesional, harus memiliki persyaratan yang meliputi: memiliki bakat sebagai guru, memiliki keahlian sebagai guru, memiliki keahlian yang baik dan terintegrasi, memiliki mental yang sehat, berbadan sehat, memiliki pengalaman dan pengetahuan yang luas, guru adalah manusia berjiwa pancasila, dan seorang warga negara yang baik.[11]
Apa yang disampaikan Oemar Hamalik tersebut, tidak jauh beda dengan pasal yang tercantum dalam UUGD, pasal 8, 9, dan 10, sebagai berikut:
Pasal 8Guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
Pasal 9: Kualifikasi akademik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 diperoleh
melalui pendidikan tinggi program sarjana atau program diploma empat.
Pasal 10: (1) Kompetensi guru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 meliputi
kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan
kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi.
Kemudian dalam tugas keprofesionalannya, guru mempunyai tugas:
a.       merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran yang bermutu, serta menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran;
b.      meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi secara berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni;
c.       bertindak objektif dan tidak diskriminatif atas dasar pertimbangan jenis kelamin, agama, suku, ras, dan kondisi fisik tertentu, atau latar belakang keluarga, dan status sosial ekonomi peserta didik dalam pembelajaran;
d.      menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan, hukum, dan kode etik guru, serta nilai-nilai agama dan etika; dan
e.       memelihara dan memupuk persatuan dan kesatuan bangsa.[12]  
C. Profesionalisme guru di tinjau dari aspek sosial.
Secara umum pengertian kinerja adalah ukuran kuantitatif dan kualitiatif yang menggambarkan tingkat pencapaian suatu sasaran atau tujuan yang telah ditetapkan dengan memperhitungkan indikator masukan, proses, dan output. Oleh sebab itu, keterkaitan dengan kelembagaan termasuk sekolah kinerja adalah hasil kerja yang dapat dicapai oleh seluruh warga sekolah di lembaga dengan wewenang dan tanggung jawab untuk mencapai tujuan kelembagaan (sekolah). Guru sebagai anggota dari organisasi sekolah mempunyai tugas pokok dan fungsi memberikan pembelajaran, bimbingan dan pelatihan kepada para siswa, dapat dikatakan efektif apabila memenuhi kriteria tertentu. Inti dari pelayanan adalah seluruh aktivitas yang dilakukan untuk kepentingan pendidikan, mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan mengevaluasi belajar di depan kelas, atau di laboratorium. Oleh sebab itu, kinerja guru dapat dikatakan efektif apabila dapat diukur seara kuantitatif atau kualitatif. Namun demikian, aktivitas tersebut tidak ada maknanya apabila hasil pelayanan yang diberikan tidak memberikan hasil belajar kepada siswa yang sesuai dengan kriteria.
Keberhasilan siswa sebagai output yang berupan peningkatan pengetahuan, keterampilan dan sikap melalui penilaian yang objektif, merupakan salah satu cerminan pelayanan guru[13]. Seorang profesional harus mampu berkaca pada dirinya sendiri, yang mencerminkan satu pribadi. Seorang profesional harus dilandasi nilai nilai kemanusian, dan kesadaran akan dampak lingkungan hidup dari efek pekerjaannya, serta mempunyai nilai ekonomi bagi kemaslahatan masyarakat secara luas. Seorang profesional mempunyai kebermaknaan ahli (expert), bertanggung jawab (responsibility) baik intelektual maupun sikap dan moral dan memiliki rasa kesejawatan.[14]
D. Profesionalisme guru di tinjau dari aspek budaya.
Pendidik sering pula disebut dengan guru, istilah guru sebagaimana dijelaskan oleh Hadari Nawawi, adalah orang yang kerjanya mengajar atau memberikan pelajaran di sekolah / kelas. Secara khusus ia mengatakan bahwa guru berarti orang yang bekerja dalam bidang Pendidikan dan Pengajaran yang ikut bertanggung jawab dalam membantu anak-anak mencapai kedewasaan masing-masing. Guru dalam pengertian tersebut, menurutnya bukanlah sekedar orang yang berdiri di depan kelas untuk menyampaikan materi pengetahuan tertentu, akan tetapi adalah anggota masyarakat yang harus ikut aktif dan berjiwa untuk menjadi anggota masyarakat sebagai orang dewasa[15]. Tujuan nasional bangsaIndonesia, salah satunya adalah mencerdaskan kehidupan bangsa seperti dalam Pembukuan UUD 1945 alenia IV. Untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, salah satu komponen paling penting adalah guru. Guru dalam konteks pendidikan mempunyai peranan besar dan strategis. Sebab, guru adalah orang yang langsung berhadapan dengan murid (peserta didik) untuk mentransfer ilmu pengetahuan sekaligus mendidik dengan nilai positif melalui bimbingan dan keteladanan. Tugas guru dari hari ke hari makin berat seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Guru sebagai komponen utama dalam dunia pendidikan, dituntut mengimbangi bahkan melampaui ilmu perkembangan pengetahuan dan teknologi di masyarakat. Melalui sentuhan guru, diharapkan mampu menghasilkan peserta didik yang memiliki kompetensi tinggi dan siap menghadapi tantangan hidup dengan penuh keyakinan dan percaya diri[16]. Pandangan masyarakat umum sering dijumpai bahwa mutu sekolah atau keunggulan sekolah dapat dilihat dari ukuran fisik sekolah, seperti gedung dan jumlah ekstra kurikuler yang disediakan. Ada pula masyarakat yang berpendapat bahwa kualitas sekolah dapat dilihat dari jumlah lulusan sekolah tersebut yang diterima di jenjang pendidikan selanjutnya. Untuk dapat memahami kualitas pendidikan formal di sekolah, perlu kiranya melihat pendidikan formal di sekolah sebagai suatu sistem. Selanjutnya mutu sistem tergantung pada mutu komponen yang membentuk sistem, serta proses yang berlangsung hingga membuahkan hasil[17]. Seiring dengan perkembangan zaman maka berkembang pula peran dan tugas seorang guru,sehingga akan dapat memberikan kontribusi yang optimal dan maksimal pada masyarakat.
D. Profesionalisme guru di tinjau dari aspek ekonomi.
Menurut Suyanto (2003) program sertifikasi bagi guru merupakan salah satu cara yang dapat digunakan untuk memotong mata rantai penyebab rendahnya kuailtas guru. Guru sebagai sosok profesional harus memiliki kecakapan kerja yang selaras dengan tuntutan bidang kerja yang ditekuni, sehingga mempunyai kewenangan yang jelas dalam peningkatan kualitas masyarakat Indonesia[18]. Pengesahan Undang-Undang Guru dan Dosen Nomor 14 Tahun 2005 menjadi penanda bahwa profesi guru tidak hanya sebatas pengabdian dengan jaminan kesejahteraan minim. Dengan keberadaan UU ini, guru adalah orang yang betul-betul profesional dengan jaminan kesejahteraan memadai. Ini merupakan elan baru dalam dunia keguruan Indonesia.

Dengan jaminan UU ini, terdekonstruksilah makna profesionalisme guru yang dulunya tidak diminati menjadi profesi yang paling diminati di antara profesi lainnya, seperti ditunjukkan dari hasil jajak pendapat yang dilakukan Litbang Kompas beberapa waktu lalu. Dari hasil jajak pendapat tersebut diketahui bahwa profesi guru menjadi profesi yang paling diminati di antara profesi lain, seperti dokter dan wartawan.Namun, dalam konteks pendidikan Indonesia, khususnya dunia keguruan, gambaran tersebut baru berlaku setelah UU Guru dan Dosen disahkan. Sebelumnya profesi guru tidak lebih seperti "pepesan kosong". Dari luar kelihatannya sangat elok dan menarik, tetapi isinya kosong. Jabatan guru memang mendapatkan tempat di hati masyarakat, tetapi ketika berbicara tentang kesejahteraan, nilainya sangat minim (baca: kosong). Di Indonesia hal yang linear itu tidak terjadi[19].
Sebagai bentuk penghargaan terhadap profesi guru, pemerintah memberikan reward(penghargaan) berupa: 
a. memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan  
kesejahteraan sosial;
b. mendapatkan promosi dan penghargaan sesuai dengan tugas dan prestasi kerja;
c. memperoleh perlindungan dalam melaksanakan tugas dan hak atas kekayaan
intelektual;
d. memperoleh kesempatan untuk meningkatkan kompetensi;
e. memperoleh dan memanfaatkan sarana dan prasarana pembelajaran untuk menunjang kelancaran tugas keprofesionalan;
f. memiliki kebebasan dalam memberikan penilaian dan ikut menentukan
kelulusan, penghargaan, dan/atau sanksi kepada peserta didik sesuai dengan
kaidah pendidikan, kode etik guru, dan peraturan perundang-undangan;
g. memperoleh rasa aman dan jaminan keselamatan dalam melaksanakan tugas;
h. memiliki kebebasan untuk berserikat dalam organisasi profesi;
i. memiliki kesempatan untuk berperan dalam penentuan kebijakan pendidikan;
j. memperoleh kesempatan untuk mengembangkan dan meningkatkan kualifikasi
akademik dan kompetensi; dan/atau
k. Memperoleh pelatihan dan pengembangan. profesi dalam bidangnya
.[20]

Tujuan diberikan reward tersebut adalah untuk meningkatkan profesionalisme dan kesejahteraan guru. Bentuk kesejahteraan yang sekarang dapat dinikmati guru besertifikasi adalah mendapatkan tunjangan profesi yang besarnya satu kali gaji sesuai dengan golongan dan masa kerja masing-masing. Tunjangan tersebut tidak hanya guru yang berstatus PNS, tetapi juga swasta. Sedangkan guru yang belum besertifikasi, pemerintah memberikan TPP (Tunjangan Perbaikan Penghasilan) sebesar dua ratus lima puluh ribu rupiah perbulan. Tunjangan sertifikasi yang diberikan ternyata tidak berbanding lurus terhadap kinerja guru. Setelah diberlakukan sertifikasi sejak 2006 sampai sekarang ternyata belum memiliki pengaruh signifikan dengan peningkatan kualitas pendidikan dan guru. Sertifikasi yang bertujuan untuk standardisasi kualitas guru berubah menjadi ajang mendapatkan kenaikan tunjangan semata, sekadar formalitas dengan menunjukkan selembar portofolio yang mereka dapat dengan cara-cara instan[21]

Penghargaan kepada guru yang sudah sertifikasi tersebut juga telah memicu adanya kecemburuan guru-guru yang lain. Kecemburuan ini mengakibatkan kinerja guru-guru non-sertifikasi tidak maksimal dalam bekerja.
Semestinya tidak ada pengotak-kotakan guru dengan cara memisah antara guru bersertifikat profesi dan guru biasa (non-sertifikasi). Bukankah semua guru haruslah bekerja secara profesional? Kebijakan pemerintah untuk menaikkan kesejahteraan guru memang patut untuk dihargai, tetapi cara penanganannya masih setengah-setengah.
Ada sebuah ungkapan menarik dari Iwan Hermawan, Sekjen Forum Guru Independen Indonesia. Menurutnya, UUGD tidak mencerminkan upaya untuk meningkatkan kesejahteraan. Buktinya untuk sejahtera saja, guru harus memenuhi syarat yang ditetapkan oleh pemerintah[22].
E. Profesionalisme guru di tinjau dari aspek politik.
Kebijakan pemerintah tentang ren­cana sertifikasi bagi guru-guru juga melahirkan fenomena baru dalam dunia pendidikan di Indonesia. Apalagi, guru-guru yang sampai saat ini belum menempuh pendidikan strata satu atau guru yang sudah lama mengajar tetapi bukan berlatar belakang pendidikan (baca: tidak memiliki akta mengajar). Para guru yang selama ini sudah mengajar anak didiknya dengan penuh tanggung jawab dan kecin­taannya untuk mengabdikan diri dalam lingkungan pen­didikan menjadi takut kehilangan kesempatannya untuk mengajar, hanya karena belum lulus S-1 atau tidak me­miliki akta mengajar. Mereka menjadi kalang kabut, se­hingga mereka menjadi latah, cepat-cepat mengikuti S-1 dan mendapatkan akta mengajar. Rasa takut yang berlebihan mengakibatkan mereka tidak berpikir panjang untuk mencari kejelasan tentang in­formasi tersebut dan bersabar menunggu kepastian akan kebijakan tersebut. Mereka sudah tidak memikirkan lagi tentang biaya pendidikan atau kewajiban mengajarnya, bahkan lembaga pendidikan yang akan mereka masuki. Yang penting bagi mereka adalah cepat-cepat menyele­saikan S-1 dan memiliki akta mengajar, karena mereka tidak mau diberhentikan dari pekerjaannya sebagai pen­gajar.[23] Untuk mengukur keempat kompetensi tersebut, pemerintah menyelenggarakan  program sertifikasi guru. Sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat pendidik untuk guru yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang memiliki program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi dan ditetapkan oleh Pemerintah, dilaksanakan secara objektif, transparan, dan akuntabel.Bagi yang lulus sertifikasi, maka mereka mendapatkan sertifikat sebagai guru professional sesuai dengan mata pelajaran yang diampu.
Ketentuan lebih lanjut mengenai sertifikasi tidak disebutkan secara detail di UUGD dan telah dibuat peraturan pemerintah yang memuat secara khusus berkaitan dengan sertifikasi. Aturan tersebut adalah Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru dan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2012 Tentang Sertifikasi Bagi Guru Dalam Jabatan. Dalam ketentuan lanjutan itulah banyak persoalan muncul. Kita tahu, sebelum tahun 2011, pola sertifikasi melalui portofolio, sementara bagi yang belum lulus mengikuti pendidikan dan pelatihan profesi guru (PLPG). Pola tersebut berubah pada tahun 2011 ini, pemerintah mengubah kebijakannya dengan memperbanyak alokasi PLPG, dan portofolio hanya 1%.
Portofolio sendiri banyak mengalami kendala karena banyaknya guru-guru yang disinyalir memalsukan sertifikat-sertifikat atau penghargaan untuk mendapatkan nilai yang baik. Sedangkan dalam PLPG, yang diujikan adalah kompetensi pedagogik guru, sementara dua kompetensi yang lain, yakni kepribadian dan sosial tidak jelas bagaimana cara mengukurnya.
Selain itu, syarat untuk bisa mengikuti PLPG juga patut dikritisi. Dalam buku pedoman sertifikasi guru 2012, disebutkan bahwa syarat untuk mengikuti sertifikasi guru adalah minimal guru sudah mengajar sebelum UUGD ditetapkan, yakni sebelum tanggal 30 Desember 2005. Syarat ini tentu membuat guru-guru yang baru harus menunggu mengajukan sertifikasi.
Menyerahkan pendidikan guru pada sebuah lembaga khusus juga akan membawa akibat, pertama yang paling mungkin adalah pergeseran makna kualitas yang hanya ditetapkan melalui sertifikat. Kualitas guru yang paling mungkin tahu adalah peserta didik dan lingkungan tempat guru mengajar. Hal yang sama pula menyangkut kebutuhan guru seperti apa yang dibutuhkan hanya lingkungan sekolah itu yang tahu. Sebaiknya upaya untuk meningkatkan kualitas tidak saja bersandar apda lembaga pendidikan melainkan juga menggali kritik, saran, dan pertimbangan publik.[24]
C. Guru Profesional dalam Perspektif Islam
Guru sebagai tulang punggung pendidikan Islam memiliki eksistensi yang sangat kuat. Dalam pendidikan Islam menurut Syekh az-Zamuji dalam kitabnya Ta’lim Muta’lim di antara syarat seseorang untuk dapat belajar dengan sukses adalah menghormati guru sama seperti menghormati ilmu. Santri (siswa) tidak akan memperoleh ilmu dan mendapat manfaatnya tanpa menghormati ilmu dan gurunya. Demikian besar posisi dan fungsi guru se­hingga menghormatinya itu lebih baik dibandingkan seke­dar mentaatinya. Menurut kitab rujukan utama para santri ini, manusia tidak dianggap kufur karena bermaksiat. Tetapi manusia menjadi kufur karena tidak menghormati atau memuliakan perintah Allah.
Dalam lingkungan pondok pesantren sebagai salah satu miniatur pendidikan Islam, seorang guru tidak di­syaratkan memiliki kualifikasi pendidikan tertentu. Tidak ada catatan sejarahnya seorang guru yang akan mengajar diminta keterangan ijazah pendidikan tertentu. Sekalipun puluhan tahun belajar dari satu pesantren ke pesantren yang lain, bukan ijazah yang dilihat oleh masyarakat tapi kemampuannya (kompetensi) dalam mengamalkan ilmu dan manfaatnya bagi masyarakat. Kompetensi amaliah ini kemudian melahirkan stratifikasi guru agama. Bila hanya lingkup kecil biasanya cukup disebut ustadz. Namun bila pengaruhnya sudah luas apalagi ditambah dengan ke­mampuannya memimpin pesantren dengan santri ban­yak, maka akan tersanding sertifikat gelar Kyai (di Sunda ajeungan). Tidak setiap orang bisa memperoleh sertifikat ini, karena masyarakat memberikan khusus kepada orang tertentu dengan kriteria tertentu. Bahkan bila ada guru agama yang telah mencapai gelar terhormat ini kemudian memiliki sifat dan sikap yang tidak sesuai dengan kualifi­kasinya, maka gelar tersebut akan dicabut kembali oleh masyarakat.[25]
Dalam perspektif Islam, seorang pendidik (guru) akan berhasil menjalankan tugasnya apabila memiliki pikiran kreatif dan terpadu serta mempunyai kompetensi profesional religius.[26]Yang dimaksud kompetensi profesional religius sebagaimana di atas adalah kemampuan untuk menjalankan tugasnya secara profesional. Artinya, mmampu membuat keputusan keahlian atas beragamnya kasus serta mampu mempertanggungjawabkannya berdasarkan teori dan wawasan keahliannya dalam perspektif Islam.[27]
Allah berfirman:
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
Artinya :
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mengetahui pengetahuan tentang hal itu, (karena) sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan di tanga. (Q.S. Al-Isra’ [17]: 36)
            Firman di atas sudah sangat tegas menjelaskan bahwa seorang guru mestilah memiliki kompetensi profesional sebagaimana diamanatkan dalam UUGD. Dalam kaitan ini, al-Ghazali pernah berkata, “ Hendaklah guru mengamalkan ilmunya, jangan perkataannya membohongi perbuatannya. Perumpamaan guru yang membimbing murid, bgaikan ukiran dan tanah liat atau bayangan dengan tongkat. Bagaimana mungkin tanah liat dapat terukir sendiri tanpa ada alat untuk mengukirnya dan bagaimana mungkin bayangan akan lurus akalu bengkok tongkatnya.”[28]
Memang, adakalanya seroang guru dalam mengajar menemui permasalahan. Keadaan yang demikian mengharuskan adanya suatu program yang disebut on-service training. Kegiatan ini dapat dilakukan dengan mengadakan pertemuan berkala dan rutin di antara para guru yang mempunyai bagian sama, sehingga terjadi tukar pikiran di antara para guru itu dalam mencari alternatif pemecahannya.[29]








BAB III
PENUTUP
A.      KESIMPULAN
Peranan   guru   sangatlah   menentukan keberhasilan proses pembelajaran di sekolah, karena guru memiliki andil yang cukup besar dalam proses belajar mengajar. Guru yang baik akan mencetak siswa yang baik pula, begitu pula sebaliknya.Namun pada saat ini, menjadi guru yang baik saja tidak cukup. Persaingan yang ketat dan upaya peningkatan mutu pendidikan yang terus digalakan oleh pemerintah menuntut guru semakin memperbaiki kinerjanya.[30]Pada pasal 10 ayat 1 UUGD No 14 tahun 2005 menyebutkan Kompetensi guru sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian,kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi. Kedudukan guru sebagai tenaga profesional berfungsi untuk meningkatkan martabat guru serta perannya sebagai agen pembelajaran untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional.
Misi dari UUGD ini tidak lain adalah untuk meningkatkan kualitas pendidikan, salah satunya adalah dengan meningkatkan keprofesionalan guru. Sayangnya, dalam teknis pelaksanaanya beberapa pasal yang mengatur keprofesionalan guru mengalami hambatan dan kendala baik teknis maupun teoritis.
Membaca UUGD ini kita seperti berhadapan dengan utopia negara tentang pekerjaan mendidik, yang sama halnya dengan karyawan. Seorang yang ingin dikatakan guru profesional maka harus memiliki sertifikat profesi, yang mana sertifikat tersebut mesti di up date melalui uji kompetensi. Profesionalitas guru yang sudah mendapatkan sertifikat profesi itu sendiri masih dipertanyakan banyak pihak. Sertifikat profesi seakan-akan hanya bersifat formalitas belaka, tidak menyentuh substansinya. Oleh sebab itu, kriteria atau ukuran yang digunakan pemerintah sebagai syarat guru mendapatkan sertifikat profesi perlu ditinjau lebih dalam.Pemberian tunjangan profesi yang tidak merata dengan syarat-syarat yang berat juga telah menimbulkan kecemburuan di kalangan guru, yang berimbas pada kinerja.  

B.     SARAN KEBIJAKAN
1. Undang-undang No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen sudah semestinya untuk ditinjau kembali untuk kemudian direvisi pada pasal-pasal yang kurang bijaksana.
2. Guru memang sudah selayaknya mendapatkan tunjangan profesi, dan semestinya pemerintah tidak pilih kasih memberikan kesejahteraan kepada guru. Sebab, semua guru, baik PNS maupun GTT,baik yang sertifikasi atau belum mesti bekerja secara profesional, dan karenanya patut untuk mendapatkan kesejahteraan yang sama.
3. Pemerintah sudah seharusnya memberikan peraturan yang bersifat husus bagi para guru,sehingga akan dapat mencurahkan semua keilmuannya,tapi kenyataan sekarang adalah pengekangan yang diatas namakan PP,SK Menteri,SKDirjen dal lain sebagainya terhadap para guru.
4. Sudah menjadi keharusan bagi pemerintah membedakan antara guru dan pegawai lainnya,baik dari segi peraturan dan kebijaksanaan.
5. Kepala sekolah/madrasah sudah semestinya melakukan supervisi terhadap semua guru lebih lebih pada guru yang sudah bersertifikasi agar dapat selalu terpantau kinerjanya.
6. Pengawas sekolah/madrasah juga secara rutin dan terprogram melakukan supervisi terhadap guru – guru.
7. Dengan adanya sertifikasi guru profesionalisme guru perlu dikaji karena dengan perkembengan zaman hal itu menyebabkan guru bergaya hidup konsumtif,asal mengisi absen kedatangan,asal membuat RPP semua serba asal.
8. Dikalangan masyarakat sikap para guru sudah banyak yang enggan berkomunikasi dengan masyarakat.
9. Kinerja para guru sudah jauh dari unsur agama Islam yaitu pekerjaan pendidik adalah ibadah,sehingga nilai keikhlasan dan perjuangan sudah ditinggalkan.
10. Pemerintah agar selalu mengevaluasi hasil dari Sertifikasi guru dan ditindaklanjuti.



DAFTAR PUSTAKA
https://harunalrasyidleutuan.wordpress.com/2010/01/22/frofesi-guru-dan-permasalahannya-profesional-guru-dan-permasalahannya/


http://imadiklus.com/guru-atau-pembelajar-dalam-perspektif-kebudayaan/

http://rohmadsetyowibowo.blogspot.co.id/2013/06/analisis-kompetensi-guru-dalam.html

http://gianadea.blogspot.co.id/2009/06/profesionalisme-guru.html.
Darmaningtyas. 2005. Ilusi tentang Guru dan Profesionalisme, Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma,.
Eko Prasetyo. 2007. Guru, Mendidik itu Melawan, Cet. 2. Jogjakarta: Resist Book.
Hamalik, Oemar. 2001. Proses Belajar Mengajar. Jakarta. Bumi Aksara.
Muhaimin, Dkk. 1999. Kontroversi Pemkiran Fazlur Rahman: Sudi Kritis Pembaharuan Pendidikan Islam, Dinamika: Cirebon.
Muhaminin dan Abdul Mujib. 1993.  Pemiiran Pendidikan IslamL Kajian Filosofi dan Kerangka Dasar Operasionalisasinya. Trigenda Karya: Bandung.
Musbikin, Imam. 2010. Guru yang Menakjubkan. Buku Biru: Yogyakarta.
Natsir, Nanat Fatah. 2007. Jurnal EDUCATIONIST No. I Vol. I Januari 2007, Pemberdayaan Kualitas Guru Dalam Perspektif Pendidikan Islam, UPI: Bandung.
Suara Merdeka, 1 Oktober 2010 (Berita)
Sulaiman, Tathiyah Hasan, 1986. Alam Pikiran al-Ghazali Mengenai Pendidikan dan Ilmu. CV. Diponegoro: Bandung.
UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen




[2] Undang-undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen Bab IV Pasal 10 ayat 1.

[4] Darmaningtyas. 2005. Ilusi tentang Guru dan Profesionalisme, Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma. Hlm. 197.
[5] Undang-undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen Bab II Pasal 6.

[7] https://harunalrasyidleutuan.wordpress.com/2010/01/22/frofesi-guru-dan-permasalahannya-profesional-guru-dan-permasalahannya/

[8] https://harunalrasyidleutuan.wordpress.com/2010/01/22/frofesi-guru-dan-permasalahannya-profesional-guru-dan-permasalahannya/

[9] Pasal 1 (1) UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen
[10] Pasal 1 (4) UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen
[11] Hamalik, Oemar. 2001. Proses Belajar Mengajar. Jakarta. Bumi Aksara. Hal. 118.
[12] Pasal 20 UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen
[14] Ibid
[15] http://imadiklus.com/guru-atau-pembelajar-dalam-perspektif-kebudayaan/

[16] http://imadiklus.com/guru-atau-pembelajar-dalam-perspektif-kebudayaan
[17] http://rohmadsetyowibowo.blogspot.co.id/2013/06/analisis-kompetensi-guru-dalam.html

[18] https://id03r.wordpress.com/2007/06/16/hello-world/

[19] http://gianadea.blogspot.co.id/2009/06/profesionalisme-guru.html

[20] Pasal 14 UU No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. 
[21] Berita di Suara Merdeka, 1 Oktober 2010 . 
[22] Prasetyo, Eko. 2007. Guru, Mendidik itu Melawan, Cet. 2, Jogjakarta: Resist Book, , hlm. 162.
[23] Natsir, Nanat Fatah, Op.Cit. hlm. 25.
[24] Prasetyo, Eko. 2007. Guru, Mendidik itu Melawan, Cet. 2, Jogjakarta: Resist Book, , hlm. 161.
[25] Natsir, Nanat Fatah, 2007. Jurnal EDUCATIONIST No. I Vol. I Januari 2007, Pemberdayaan Kualitas Guru Dalam Perspektif Pendidikan Islam, UPI: Bandung., hlm. 27.
[26] Muhaimin, Dkk. 1999. Kontroversi Pemkiran Fazlur Rahman: Sudi Kritis Pembaharuan Pendidikan Islam, Dinamika: Cirebon. Hlm. 115.
[27] Muhaminin dan Abdul Mujib. 1993.  Pemiiran Pendidikan IslamL Kajian Filosofi dan Kerangka Dasar Operasionalisasinya. Trigenda Karya: Bandung. Hlm. 173
[28] Sulaiman, Tathiyah Hasan, 1986. Alam Pikiran al-Ghazali Mengenai Pendidikan dan Ilmu. CV. Diponegoro: Bandung. Hlm. 56.
[29] Musbikin, Imam. 2010. Guru yang Menakjubkan. Buku Biru: Yogyakarta. Hlm. 128.

0 komentar:

Posting Komentar