Minggu, 15 Januari 2017

BERBAKTI KEPADA ORANG TUA

BERBAKTI KEPADA ORANG TUA
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ صَحَابَتِي؟ قَالَ أُمُّكَ، قَالَ ثُمَّ مَنْ ؟ قَالَ ثُمَّ أُمُّك، قَالَ ثُمَّ مَنْ ؟ قَالَ ثُمَّ أُمُّكَ، قَالَ ثُمَّ مَنْ ؟ قَالَ ثُمَّ أَبُوكَ (متفق عليه)
Artinya: Riwayat Abu Hurairah ra menuturkan, “Seorang pria datang kepada Rasulullah saw. “Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling patut saya perlakukan dengan baik?” Tanya pria itu. Beliau menjawab, “Ibumu." “Siapa lagi?” Tanyanya kembali. “Ibumu,” jawab beliau. “Siapa lagi?” Tanyanya. “Ibumu,” jawab beliau. “Terus siapa lagi?” Tanyanya. Beliau pun menjawab, “Ayahmu.” (HR. al-Bukhari: No. 5514 dan Muslim: No. 4621)
Menurut pengertian etimologi, al-birru adalah kebaikan atau keutamaan. Sedangkan dalam pengetian terminologi, al-birru adalah amal saleh yang bersih dari noda-noda syirik. Sabda Nabi saw,
إِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ (متفق عليه)
Artinya: “Kejujuran adalah indikator untuk berbuat al-birr (beramal saleh).” (Muttafaq ‘Alaih)
Derivasi makna yang terkandung dalam al-birr mencakup semua bentuk amal kebajikan, baik lahir maupun batin. Berbentuk lahiriyah, yaitu yang dilakukan oleh anggota badan, seperti memberikan pertolongan, bantuan, mendermakan harta, dan lain-lain, yang berbentuk batiniyah, yaitu kebajikan yang bersifat abstrak, misalnya berlaku jujur, berhati ikhlas, berakhlak mulia, berdoa, dan budi pekerti luhur lainnya. Mengenai al-birr yang didefinisikan sebagai kebajikan ini, sesuai dengan firman Allah swt:
لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ
Artinya: “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah Maha mengetahui.” (QS. Ali Imran, 3 : 92)
Dari dalil-dalil di atas, dapat ditarik benang merah bahwa makna al-birr dapat diartikan sebagai amal saleh, budi pekerti luhur, dan kebajikan secara umum. Dengan demikian, al-birr memiliki antonim yaitu al-itsm yang berarti dosa. Sebab kebajikan dapat menuntun orang ke sorga, sedangkan dosa dapat menjerumuskan orang ke neraka. Hal ini selaras dengan dengan pernyataan An-Nawwas bin Sim’an yang bertanya kepada Baginda Nabi mengenai definisi al-birr dan al-itsm. Nabi saw menjawab:
الْبِرُّ حُسْنُ الْخُلُقِ، وَاْلإِثْمُ مَا حَاكَ فِي صَدْرِكَ وَكَرِهْتَ أَنْ يَطَّلِعَ عَلَيْهِ النَّاسُ (رواه مسلم والترمذي وأحمد)
Artinya: “Kebaikan adalah budi pekerti yang baik, sedangkan dosa adalah kehendak di dalam hatimu yang tidak disenangi sekiranya dilihat oleh manusia.” (HR. Muslim: No. 4632, al-Tirmidzi: No. 2311, dan Ahmad: No. 16974)
Adapun berbuat birr kepada orang tua, berarti berbuat baiknya seorang anak kepada orang tuanya. Hal ini dapat diimplementasikan dengan perilaku sopan dan santun kepada keduanya, baik dalam ucapan maupun tingkah laku, mentaati perintahnya selagi tidak menyuruh berbuat maksiat, mencukupi segala kebutuhan yang mereka perlukan menurut batas kemampuan yang ada, dan mendoakannya.
Hukum Berbakti Kepada Orang Tua
Para ulama sepakat bahwa berbuat taat dan bakti kepada kedua orang tua itu hukumnya wajib. Tetapi yang dipersilisihkan ialah siapakah yang harus didahulukan diantara keduanya itu, bapak atau ibu. Sebagian ulama tidak membedakan satu sama lain untuk didahulukan dan diakhirkan, keduanya harus diperlakukan dengan baik secara seimbang.
Menurut pemahaman eksplisit hadits Abu Hurairah di atas, ibulah yang harus didahulukan daripada ayah. Ia lebih berhak dan lebih utama untuk ditaati, disayangi, dikasihi, dan dilayani oleh seorang anak. Ulama yang berpendapat demikian, berargumentasi bahwa Nabi saw dalam hadits tersebut, mengulangi kata “ibumu” sebanyak tiga kali, baru kemudian “ayahmu”.
Ibu diutamakan daripada ayah, mengingat jerih payahnya selama mengandung, melahirkan, menyusui, serta mengasuh anaknya sampai dewasa. Jerih payah dan jasa ibu tersebut dilukiskan Allah swt dalam firman-Nya:
وَوَصَّيْنَا اْلإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ
Artinya: “Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-ayahnya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang tuamu, hanya kepada-Kulah kembalimu.” (QS. Luqman, 31:14)
Ibnu Uyainah berpendapat, syukur kepada Allah dapat diwujudkan dengan melakukan shalat fardhu lima kali sehari semalam, sedangkan syukur kepada dua orang tua dapat diaflikasikan salah satunya dengan mendoakan keduanya setiap selesai shalat fardhu (Ibnu Allan al-Shiddiqi, tth:II/144). Jadi, dengan melaksanakan shalat fardhu kemudian berdoa untuk kedua orang tua, menurut Ibnu Uyainah, berarti telah bersyukur kepada Allah dan kedua orangtuanya sebagaimana yang diperintahkan dalam ayat di atas.
Berbakti Kepada Orang Tua Non Muslim
Hidayah dan cahaya Islam memang hak perogratif Allah. Manusia hanya disuruh untuk mengajak dan berdakwah menuju jalan-Nya dan tidak ada paksaan bagi orang lain untuk mengikuti ajakannya. Terkadang orang tuanya baik dan beriman, tetapi anaknya durhaka dan kemudian kafir, sebagaimana yang terjadi pada keluarga Nabi Nuh. Terkadang pula anaknya saleh dan beriman, tetapi orang tuanya durhaka dan musyrik, seperti yang dialami oleh Nabi Ibrahim dan ayahnya Azar. Oleh karena itu, tidak heran jika fenomena seperti ini sering terjadi pada masyarakat, dari zaman dulu sampai sekarang. Permasalahannya, bagaimana sikap seorang anak yang saleh dan beriman jika menghadapi orang tua yang durhaka, musyrik, atau kafir. Apakah ia harus tetap berbakti kepada keduanya, mendoakannya, dan menuruti titahnya, atau tidak?
Islam adalah agama penyebar rahmat untuk seluruh alam (rahmatan lil alamin). Meskipun seseorang telah mengingkarinya, tetapi haknya sebagai makhluk Allah tetap ada secara proporsional. Dalam hal ini, Islam membatasi sampai di mana perintah orang tua yang musyrik itu dituruti oleh anaknya, dan kapan seorang anak dikategorikan durhaka jika ia membangkang titah orang tuanya.
Pada prinsipnya setiap titah orang tuanya harus ditaati. Tetapi jika mengarah pada kemusyrikan, baik secara langsung maupun tidak langsung, maka si anak tidak durhaka untuk menolaknya, bahkan wajib tidak menaatinya. Karena hidayah Allah dan cahaya Islam sangat berharga melebihi segala-galanya. Demikian pula, para dasarnya setiap hal yang dilarang orang tua harus dijauhi oleh si anak. Kecuali jika larangan itu bertentangan dengan syariat. Misalnya orang tua melarang shalat, belajar agama, dan puasa, maka si anak tidak durhaka untuk membangkangnya, bahkan diwajibkan untuk tidak taat kepadanya.
Namun demikian, si anak tetap harus menjaga etika pergaulan dan sopan santun dihadapan orang tuanya, sehingga hubungan dia dengan keduanya tidak berbuntut ketegangan. Allah mengingatkan hamba-hambaNya agar senantiasa berbuat baik kepada kedua orang tua meskipun keyakinan mereka berbeda, sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya:
وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا
Artinya: “Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik...” (QS. Luqman,31:15)
Dalam sebuah riwayat diceritakan, Asma puteri Abu Bakar al-Shiddiq ra pernah dikunjungi oleh ibunya yang musyrik. Ia saat itu bimbang, apakah harus berbuat baik kepadanya atau mengacuhkannya. Akhirnya ia memutuskan untuk menanyakan hal itu kepada Rasulullah saw. Maka ditemukan jawaban bahwa ia harus tetap memperlakukan ibunya dengan baik, meskipun ibunya itu seorang musyrik. Teks hadits tersebut lengkapnya sebagai berikut:
عَنْ أَسْمَاءَ بِنْتِ أَبِي بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَتْ قَدِمَتْ عَلَيَّ أُمِّي وَهِيَ مُشْرِكَةٌ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاسْتَفْتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُلْتُ وَهِيَ رَاغِبَةٌ أَفَأَصِلُ أُمِّي ؟ قَالَ: نَعَمْ صِلِي أُمَّكِ (متفق عليه)
Artinya: Riwayat dari Asma` binti Abi Bakar ra menuturkan, “Ibuku yang musyrik, pada masa Rasulullah, datang mengunjungiku. Maka aku meminta fatwa kepada Rasulullah. “Ibuku adalah orang yang tidak senang dengan agama Islam. Apakah aku boleh menemuinya?” Rasul menjawab, “Temuilah ibumu!” (HR. al-Bukhari: No. 2427 dan Muslim: No. 1671)
Berbuat baik kepada orang yang berlainan keyakinan ini tidak terbatas hanya kepada orang tua. Kerabat dan tetangga pun harus diperlakukan dengan baik selagi mereka mau berdamai dan tidak menyatakan konfrontasi dengan kaum muslimin. Hal ini dijelaskan di dalam al-Qur’an:
لاَ يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
Artinya: “Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. al-Mumtahanah, 60:8)
Berbakti kepada orang tua merupakan salah satu dari tiga amal yang paling disukai Allah. Kedua amal yang lain sebagaimana dijelaskan hadits di bawah ini adalah shalat tepat waktunya dan jihad di jalan Allah. Selengkapnya, hadits tersebut adalah:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بنِ مَسْعُودٍ قَالَ سَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ الْعَمَلِ أَحَبُّ إِلَى اللَّه؟ قَالَ الصَّلاَةُ عَلَى وَقْتِهَا، قُلْتُ ثُمَّ أَيٌّ ؟ قَالَ ثُمَّ بِرُّ الْوَالِدَيْنِ، قُلْتُ ثُمَّ أَيٌّ ؟ قَالَ الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، قُلْتُ حَدَّثَنِي بِهِنَّ وَلَوْ اسْتَزَدْتُهُ لَزَادَنِي (متفق عليه)
Artinya: Riwayat dari Abdullah bin Mas’ud menuturkan, “Aku bertanya kepada Nabi saw. “Perbuatan apa yang paling dicintai Allah?” Rasul menjawab, “Shalat tepat pada waktunya.” “Kemudian apa?” tanyaku lagi. Beliau menjawab, “Berbakti kepada orang tua.” “Apa lagi?” sambungku. Beliau menjawab, “Jihad fi sabilillah.” (HR. al-Bukhari: No. 496 dan Muslim: No.122)
Berbuat Baik Kepada Kerabat
Selain kepada orang tua, manusia muslim juga harus berbakti dan berbuat baik kepada para kerabat dan semua keluarganya. Menurut pendapat Imam al-Nawawi (w. 676 H), hadits Abu Hurairah di awal pembahasan ini tidak membatasi berbuat baik hanya kepada orang tua, melainkan juga memberikan sugesti berbuat baik kepada kaum kerabat. Hanya saja ibu lebih diutamakan, kemudian ayah, baru setelah itu para kerabat yang lain. Lebih jelasnya lagi tentang berbakti kepada para kerabat ini, sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim menuturkan:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَجُلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ أَحَقُّ النَّاسِ بِحُسْنِ الصُّحْبَةِ قَالَ أُمُّكَ ثُمَّ أُمُّكَ ثُمَّ أُمُّكَ ثُمَّ أَبُوكَ ثُمَّ أَدْنَاكَ أَدْنَاكَ (رواه مسلم)
Artinya: Berita dari Abu Hurairah menyebutkan, seorang laki-laki bertanya, “Wahai Rasulullah, siapakah manusia yang paling berhak saya perlakukan dengan baik?” Beliau menjwab, “Ibumu, kemudian ibumu, kemudian ibumu, lalu ayahmu, selanjutnya orang-orang yang paling dekat denganmu (kerabat).” (HR. Muslim: No. 4622)
Hadits Muslim ini menjadi polemik diantara para ulama, siapakah yang lebih berhak dari para kerabat itu untuk ditaati antara pihak nenek-kakek dan pihak saudara-saudara? Imam Nawawi dalam kitabnya Syarh al-Nawawi ‘ala Shahih Muslim bi mengutip pendapat ulama Syafi’iyyah dalam hal ini. Mereka menetapkan kesunahan berbuat birr dalam skala prioritas secara hirarkis berturut-turut dari ibu, kemudian ayah, anak-anak, kakek, nenek, saudara laki-laki, saudara perempuan, lalu mahram-mahram yang lain seperti paman dan bibi, baik dari jalur ayah maupun ibu. Keluarga dari keturunan ibu dan ayah didahulukan daripada keluarga dari keturunan salah satunya. Kemudian baru keluarga yang bukan mahram, seperti saudara sepupu. Lalu mertua dan tetangga. (al-Nawawi: 1392 H:XVI/103)
Berbakti Kepada Orang Tua yang Telah Wafat
Berbakti kepada orang tua tidak selesai dengan meninggalnya mereka. Sekalipun orang tua sudah meninggal dunia, seorang anak masih tetap berkewajiban untuk terus berbakti kepadanya. Adapun cara berbuat baik atau berbakti kepada mereka yang telah meninggal dunia, antara lain: (1) menjalin hubungan kasih sayang dan kekerabatan terhadap orang-orang yang pernah dikasihsayangi oleh orang tuanya semasa hidup. Alkisah, Abdullah bin Umar, seorang sahabat Nabi yang agung, suatu hari pergi dari Mekkah dengan menunggang seekor keledai dan memakai surban yang terikat di kepalanya. Kemudian lewatlah seorang arab badwi berjalan kaki. “Apakah kamu puteranya Bapak Fulan?” tanya Ibnu Umar. “Benar,” jawab si badwi. Maka Ibnu Umar pun langsung memberikan keledai dan surbannya. “Tunggangi hewan ini dan ikatkanlah surban ini dikepalamu!” pesan Ibnu Umar.
Para sahabat yang lain melihat peristiwa itu merasa kagum. “Semoga Allah mengampunimu. Kenapa engkau memberikan keledai dan surbanmu kepada orang badwi ini, padahal engkau sendiri sedang menggunakannya?” tanya mereka. Ibnu Umar pun menjawab bahwa ia pernah mendengar Rasulullah saw bersabda:
إِنَّ مِنْ أَبَرِّ الْبِرِّ صِلَةَ الرَّجُلِ أَهْلَ وُدِّ أَبِيهِ بَعْدَ أَنْ يُوَلِّيَ وَإِنَّ أَبَاهُ كَانَ صَدِيقًا لِعُمَرَ (رواه مسلم وأبو داود والترمذي)
Artinya: “Termasuk dari bakti yang utama, ialah silaturrahimnya seseorang kepada ahli kerabat yang dicintai ayahnya, setelah orang tuanya meninggal.” Ayah orang badwi ini adalah kolega ayahnya yaitu Umar.(HR. Muslim: No. 4631, Abu Dawud: No. 4477, dan al-Tirmidzi: No. 1825)
Kemudian cara selanjutnya, (2) mendoakan dan memintakan ampunan baginya (jika keduanya beragama Islam), (3) melaksanakan janjinya, dan (4) menjaga hubungan baik dengan teman-temannya. Hal tersebut sebagaimana diungkap dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Usaid, Malik bin Rabi’ah al-Sa’idi. Ia menuturkan:
بَيْنَا نَحْنُ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ جَاءَهُ رَجُلٌ مِنْ بَنِي سَلَمَةَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلْ بَقِيَ مِنْ بِرِّ أَبَوَيَّ شَيْءٌ أَبَرُّهُمَا بِهِ بَعْدَ مَوْتِهِمَا قَالَ نَعَمْ الصَّلاَةُ عَلَيْهِمَا وَاْلاِسْتِغْفَارُ لَهُمَا وَإِنْفَاذُ عَهْدِهِمَا مِنْ بَعْدِهِمَا وَصِلَةُ الرَّحِمِ الَّتِي لاَ تُوصَلُ إِلاَّ بِهِمَا وَإِكْرَامُ صَدِيقِهِمَا (رواه أبو داود)
Artinya: Pada suatu hari, kami duduk di samping Rasulullah saw, tiba-tiba datang seorang laki-laki keturunan Bani Salamah bertanya kepada Rasulullah. “Wahai Rasulullah, apakah masih ada kesempatan bagiku untuk bebuat baik kepada kedua orang tuaku setelah keduanya wafat?” tanya laki-laki itu. Beliau menjawab: “Ya, masih ada, yaitu mendoakan, memohonkan ampunan, melaksanakan janji keduanya yang ditinggalkan, melaksanakan silaturahim kepada seseorang yang tidak dapat dilaksanakan selain memperoleh keikhlasan dan keridhaannya, serta memuliakan kawan dari keduanya.” (HR. Abu Dawud: No. 4476)
Begitu pula firman Allah yang menganjurkan seorang anak untuk selalu mendoakan orang tuanya mengingat jasa-jasa mereka yang telah mendidiknya sewaktu kecil. Doa tersebut termaktub dalam al-Qur’an:
وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا
Artinya: “...dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil.” (QS. al-Isra, 17:24)
Dalam ayat yang lain, manusia muslim dibimbing oleh agamanya untuk berdoa, memohonkan ampunan kepada Allah swt, bagi dirinya, kedua orang tuanya, kerabatnya yang mukmin, dan seluruh kaum mukminin secara umum.
رَبِّ اغْفِرْ لِي وَلِوَالِدَيَّ وَلِمَنْ دَخَلَ بَيْتِيَ مُؤْمِنًا وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَلاَ تَزِدِ الظَّالِمِينَ إِلاَّ تَبَارًا
Artinya: “Ya Tuhanku! Ampunilah aku, ibu bapakku, orang yang masuk ke rumahku dengan beriman dan semua orang yang beriman laki-laki dan perempuan. Dan janganlah Engkau tambahkan bagi orang-orang yang zalim itu selain kebinasaan". (QS. Nuh, 71:28)
Kesimpulan
1. Berbakti kepada kedua orangtua (birrul walidain) dan para kerabat merupakan suatu kewajiban yang harus ditunaikan seorang muslim.
2. Mendahulukan ibu dalam berbakti daripada ayah kemudian kerabat-kerabat yang lain, merupakan suatu kesunahan.
3. Tidak termasuk durhaka (‘uququl walidain) membantah perintah dan larangan orang tua yang bertolak belakang dengan syariat Islam. Bahkan termasuk dosa dan haram hukumnya jika seseorang patuh terhadap perintah untuk bermaksiat dan durhaka kepada Allah.
4. Sugesti untuk berbuat baik dan adil kepada tetangga atau siapa saja yang non-muslim, selagi mereka tidak mengganggu stabilitas keamanan dan keyakinan kaum muslimin.
5. Sekalipun agama dan kepercayaan antara orang tua dan anak berbeda, namun hubungan kekeluargaan tetap harus dibina sebaik-baiknya.
6. Berbuat baik kepada orang tua yang telah meninggal dapat diwujudkan dengan mendoakannya, memohonkan ampunan untuknya, menjalankan wasiatnya, dan menjalin hubungan baik dengan orang-orang yang menjadi koleganya.
Hadist Abu Hurairah tentang kategori pemilihan jodoh
عَنْ اَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِاَرْبَعٍ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَلِجَمَالِهَا وَلِدِيْنِهَا فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّيْنِ تَرِبَتْ يَدَاكَ    
Artinya :“Diriwayatkan dari abu Hurairah r.a bahwa Rasullulah  saw bersabda : ”Perempuan dinikahi karena empat faktor, yaitu karena hartanya, kedudukannya, kecantikannya, dan karena agamanya. Maka hendaklah engkau memilih yang beragama, karena akan membawamu pada kebahagiaan. (H.R.Imam Bukhori)

b.      Hadist ‘Aisyah tentang Nikah sebagai sunnah Nabi
عَنْ عَا ئِشَةَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ النِّكَاحُ مِنْ سُنَّتِيْ فَمَنْ لَمْ يَعْمَلْ بِسُنَّتِيْ فَلَيْسَ مِنِّيْ وَتَزَوَّجُوْا فَإِنِّيْ مُكَاثِرٌبِكُمُ الْاَمَمَ وَمَنْ كَانَ ذَا طَوْلٍ فَلْيَنْكِحْ وَمَنْ لَمْ يَجِدْ  فَعَلَيْهِ بِالصِّيَامِ فَإِنَّ الصَّوْمَ لَهُ وِجَاءٌ
Artinya: “ Dari Aisyah R.A. berikut, bahwa Rasulullah S.A.W. bersabda:menikah adalah sunnahKu, siapa yang tidak mengamalkan sunnahKu, maka dia bukan termasuk umatKu,menikahlah karena aku sangat senang atas jumlah besar kalian dihadapan umat-umat lain, siapa yang telah memiliki kesanggupan, maka menikahlah jika tidak maka berpuasalah, karena puasa itu bisa menjadi kendali. (

c.       Hadist Abdullah bin Mas’ud tentang anjuran untuk menikah
عَنْ عَبْدِ الرّحْمَنِ بْنِ يَزِيْدَ عَنْ عَبْدِ اللهِ قَالَ: قَالَ لَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَامَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَالْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ اَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَاَحْصَنَ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
Artinya: Dari Abdurrahman bin Yazid, dari Abdullah (dia) berkata, berkata Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa sallam: “Hai para pemuda! Barang siapa yang mampu beristri, hendaklah ia kawin; karena perkawinan itu berpengaruh besar untuk menundukkan mata (dari memandang wanita yang bukan keluarga) dan tangguh menjaga alat vital. Barang siapa yang tak sanggup kawin, hendaklah ia berpuasa, karena puasa itu alat penahan nafsu birahi”.(dikeluarkan dari HR. Muslim dalam Kitab Nikah)[1]

C.      KRITERIA MEMILIH JODOH
Pernikahan adalah bentukan kata benda dari kata dasar nikah; kata itu berasal dari bahasa Arab yaitu kata nikah (bahasa Arab: النكاح) yang berarti perjanjian perkawinan; berikutnya kata itu berasal dari kata lain dalam bahasa Arab yaitu kata nikah (bahasa Arab: نكاح) yang menurut bahasa artinya mengumpulkan, saling memasukkan, dan digunakan untuk arti bersetubuh (wathi’). Kata nikah sendiri sering dipergunakan untuk arti persetubuhan (coitus) juga untuk arti akad nikah.[2]
Dari hadist di atas, dapat dilihat bahwa Nabi membagi faktor seorang lelaki memilih istri, yaitu :
1)        Berdasarkan kekayaan
Di dalam hadis ini seorang laki-laki (mencari jodoh) dianjurkan untuk memilih calon istri berdasarkan hartanya. Karena dengan harta mereka bisa mencukupi kebutuhan hidup keluarganya. Dengan harta pula mereka tidak akan kekurangan dan bisa bersenang-senang, serta bisa menyisihkan sedikit hartanya untuk berbagi dengan yang lain. Di dalam hadis juga diterangkan jika harta itu milik istri maka suami boleh menggunakan harta tersebut dengan izin istri. Berbeda halnya dengan harta milik suami, istri berhak memakainya karena pada dasarnya suami wajib membeberi nafkah kepada istri. Namun makruh hukumnya jika seorang laki-laki memilih calon istri berdasarkan  hartanya, karena dikhawatirkan dengan harta istri bisa menurunkan kehormatan suami.
2)         Berdasarkan Nasabnya
Anjuran berikutnya memilih calon pasangan berdasarkan nasabnya. Nasab disini bisa diartikan menjadi dua makna yaitu, keturunan dan derajat atau pangkat. Jika dilihat dari keturunan, maka seseorang yang akan memilih jodohnya harus mengetahui asal-usul kelahiran si calon dari ayah dan kerabat dekatnya yang satu nasab. Dengan mengetahui nasab atau keturunannya maka tidak akan menimbulkan fitnah. Nasab dilihat dari derajat atau pangkat kemuliaan. Dengan memilih wanita yang memiliki derajat atau pangkat maka bisa mengangkat kehormatan dirinya. Namun, laki-laki yang menikahi seorang perempuan berdasarkan kehormatannya saja, juga dihinakan oleh Nabi, sebagaimana sabdanya:  “barang siapa menikahi wanita karena kemuliaannya, maka tidak akan bertambah baginya kecuali kehinaan.
3)         Berdasarkan kecantikannya
Memilih wanita dari kecantikannya dan kebaikannya. Karena wanita yang cantik itu enak dipandang. Akan tetapi makruh juga hukumnya, jika menikah dengan wanita yang sangat cantik malah justru akan menimbulkan keresahan pada suaminya, bahkan takut menimbulkan fitnah.
4)         Berdasarkan agamanya
Dari keempat kriteria di atas, memilih perempuan untuk dinikahi berdasarkan agamanya adalah yang paling pokok yang dianjurkan oleh Nabi saw. Memilih wanita dari agamanya, karena wanita yang baik agamanya dapat memberikan manfaaat dunia dan akhirat. Wanita yang kuat agamanya juga memiliki akhlak yang baik (wanita sholihah), akan mudah patuh dan taat diatur dalam keluarga, serta wanita inilah yang kelak akan kita butuhkan. Wanita sholihah senantiasa bersedia menemani dan menjaga kehormaatan sang suami bagaimanapun keadaannya. Hal ini senada dengan tujuan pernikahan yakni untuk menghasilkan keturunan yang baik, yang kelak akan menjadi penerus perjuangan agama Islam.
Keturunan yang seperti inilah yang dimaksud oleh Rasulullah saw sebagai keturunan yang dapat memperbanyak umat beliau. Oleh karena itu, buah yang baik akan sulit dihasilkan kecuali oleh pohon yang baik pula. Bahkan diriwayatkan oleh Ibnu Majah, “janganlah memilih wanita karena kebaikannya karena dengan kebaikannya maka akan ........ dan janganlah memilih berdasarkan hartanya karena hartanya akan menimbulkan ......... akan tetapi pilihlah wanita dari agamanya, sekalipun wanitu itu hitam sekali tetapi agamanya lebih utama.
Banyak pendapat mengenai hadits ini, diantaranya pendapat Al-Ghazali bahwa memilih istri hanya berdasarkan agamanya karena sesungguhnya kecantikan, harta, dan kedudukan itu hanyalah sementara.

D.      HADITS TENTANG NIKAH SEBAGAI SUNNAH NABI
Dari hadits Aisyah di atas menegaskan bahwa menikah merupakan sunnah Nabi dan siapa saja yang mampu menjalankan pernikahan dan sanggup membina rumah tangga maka segeralah menikah, karena akan diakui sebagai umat Nabi Muhammad saw, tapi jika tidak mampu Nabi menganjurkan untuk berpuasa, karena dengan berpuasa itu bisa menjadi kendali dari hawa nafsu.
Dalam pernikahan, ulama’ syafi’iyah membagi anggota masyarakat ke dalam 4 golongan yaitu:
  1. Golongan orang yang berhasrat untuk berumah tangga serta mempunyai belanja untuk itu. Golongan ini dianjurkan untuk menikah.
  2. Golongan yang tidak mempunyai hasrat untuk menikah dan tidak punya belanja. Golongan ini dimakruhkan untuk menikah.
  3. Golongan yang berhasrat untuk menikah tetapi tidak punya belanja. Golongan inilah yang disuruh puasa untuk mengendalikan syahwatnya.
  4. Golongan yang mempunyai belanja tetapi tidak berhasrat untuk menikah, sebaiknya tidak menikah, tetapi menurut Abu Hanifah dan Malikiah diutamakan menikah.[3]

E.        ANJURAN MENIKAH
Menurut ahli bahasa golongan pemuda dalam hadits tersebut adalah golongan yang belum mencapai tiga puluh tahun. Maka golongan pemuda tersebut dianjurkan untuk menikah, dengan beberapa ketentuan. Anjuran ini bukan berarti wajib melainkan sunah. Seperti pendapat Imam Nawawi dalam kitabnya Shahih Muslim ‘Ala Syarhin bahwa hukum nikah itu dibagi menjadi empat, yaitu:
1.    Laki-laki yang mampu berjima’ dan mampu memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya maka sunah hukumnya untuk menikah
2.    Laki-laki yang mampu berjima’ tetapi hanya mampu memenuhi kebutuhan dirinya sendiri dan tidak mampu memenuhi kebutuhan keluarganya maka makruh hukumnya untuk menikah
3.    Laki-laki yang mampu memenuhi kebutuhannya dan keluarganya tetapi tidak mampu berjima’ maka hukumnya juga makruh untuk menikah
4.    Laki-laki yang tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya serta tidak mampu berjima’ maka lebih baik menjauhi pernikahan.[4]
Hadits ini juga menerangkan bahwa Nabi SAW menandaskan, siapa saja di antara para pemuda yang mempunyai kesanggupan untuk menikah dan mempunyai penghasilan untuk membelanjai rumah tangga serta berkeinginan hidup berumah tangga hendaklah menikah, tidak boleh membujang. Mereka yang tidak sanggup memelihara rumah tangga, atau tidak mempunyai kemampuan untuk menikah hendaklah dia berpuasa, karena puasa baginya sama dengan mengebirikan (mensterilkan) diri. Maka tidak halal beristri bagi orang yang merasa tidak sanggup memberi nafkah atau mas kawin, atau sesuatu hak istri sebelum dia menerangkan kepada istri tentang keadaannya, dan hendaklah dia menerangkan pula tentang keadaan kesehatan badannya, seandainya dia mempunyai penyakit yang menghalangi persetubuhan.[5]

F.        PENUTUP
1.         Kesimpulan
a.    Pernikahan adalah perkawinan, dalam arti hubungan yang terjalin antara suami dengan ikatan hukum Islam, dengan memenuhi syarat-syarat dan rukun-rukun pernikahan.
b.    Pernikahan merupakan seruan agama atau anjuran yang harus dijalankan oleh manusia yang mampu untuk berkeluarga. Bagi para pemuda yang tidak sanggup memelihara rumah tangga atau tidak mempunyai kemampuan untuk menikah, hendaknya ia berpuasa.
c.    Rasullulah SAW memberiakan kriteria melilih calon istri yaitu berdasarkan agamanya bukan karena hartanya, kedudukannya serta bukan karena kecantikannya.
2.         Penutup
Demikianlah makalah ini kami buat dan disampaikan, semoga bermanfaat untuk kita semua. Apabila ada kekurangan dalam pembuatan makalah ini kami dengan senang hati menerima kritik dan saran yang membangun guna perbaikan pada selanjutnya. Amiiin…

Nikah sebagai Suruhan Nabi
Hadits Nabi:
عَنْ عَبْدِ اللهِ مَسْعُوْدِ رَضِيَ اللهُ تَعَلَ عَنْهُ قَالَ : قَالَ لَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : يَامَعْشَرَ الثَّبَابِ مَنِ اسْتَطَعَ مِنْكُمُ البَاءَةَ فَلْيَتَزَوَجْ فَإنَّهُ اَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَاَحْصَنُ لِلْفَرْجِ. وَمَنْ لَمْ يَبْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِا الصَّوْمِ فَإنَّهُ وَجَاءٌ.
Artinya :
Dari Ibnu Mas’ud berkata, bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Hai para pemuda yang mempunyai kemampuan untuk menikah, maka hendaklah ia menikah, maka sesungguhnya menikah itu lebih dapat menjaga pandangan mata dan lebih dapat menjaga kemaluan dan yang belum mampu hendaklah ia berpuasa karena sesungguhnya puasa itu penawar hawa nafsu.” (HR. Muttafaq ‘Alaih)

Dalam hadits lain Rasulullah bersabda:
عَنْ اَنَسِ بْنِ مَلِكِ رَضِيَ اللهُ قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لَكِنَّ اَنَا اُصَلِّى وَاَتَزَوَجُّ الِلنِّسَاءَ فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِى فَلَيْسَ مِنِّيْ.
Artinya:
Dari Annas bin Malik berkata: Rasulullah Saw bersabda: “Sesungguhnya saya shalat dan juga tidur, aku berpuasa berbuka dan menikah. Barangsiapa yang tidak mau mengikuti sunnahku maka ia tidak termasuk golonganku.” (HR. Muttafaq ‘Alaih)

Hadits Nabi
حَدِيْثُ سَعِدِ بْنِ اَبِيْ وَقَاصٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: رَدَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى عُثْمَانَّ بْنِ مَظْعُوْنٍ التَّبَتُّلَ وَلَوْ اَذِنَ لَهُ لاَ خْتَصَيْنَا.


Artinya :
Dari Sa’ad bin Abihttp://cdncache-a.akamaihd.net/items/it/img/arrow-10x10.png Waaqas r.a berkata : “Rasulullah Saw melarang Utsman bin Madz’un untuk membujang, seandainya beliau mengizinkannya, pasti kami membujang.” (HR. Muttafaq ‘Alaih)

Dari uraian beberapa hadits diatas menjelaskan bahwa Rasulullah melarang untuk membujang atau tidak menikah walaupun dalam hidupnya digunakannya untuk beribadah kepada Allah SWT. Orang yang menikah secara otomatis menumbuhkan rasa tanggung jawab kepada keluarganya dan juga dengan menikah akan meneruskan keturunan, dan dengan menikah akan terhindar dari berbuat zina.


B.   Anjuran Nikah
Menikah sangat dianjurkan apalagi bagi seseorang yang sudah baligh dan mampu memenuhi nafkah istri, lahir maupun batin . Setiap manusia dianjurkan untuk menikah karena seksualitas merupakan fitrah kemanusian dan juga makhluk hidup yang suatu saat akan mendesak penyalurannya. Bagi manusia penyaluran itu hanya ada satu jalan yaitu pernikahan.

Hadits Rasul
عَنْ اَنَسِ قَالَ : كَانَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : تَزَوَّجُو الوَدُوْدَ الوَلُوْدَ. فَإنِّيْ مُكَاثِرٌ بِكُمُ الأمَمَ يَوْمَ الْقِيَمَةِ. ﴿ رواه أحمد و ابن حبّان
Artinya :
Dari Anas berkata: Rasulullah Saw bersabda: “Nikahilah wanita-wanita penyayang dan banyak anak (subur), karena aku berbangga diri dengan kalian atas umat lain pada hari kiamat.” (HR. Ahmad dan Ibnu Hibban)

Dalam hadits lain
أرَادَ اُنَاسٌ مِنْ أصْحَابِ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أنْ يَرْفُضُوا الدُّنْيا و يَتْرُكُوا النِّسَاءَ وَيَتَرَهَّبُوْا. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلعم فَغَلَّظَ فِيْهِمْ الْمَقَالَةَ, ثُمَّ قَالَ : إنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِالتَّشْدِيْدِ, شَدَّدُوْا عَلَى اَنْفُسِهِمْ فَشَدَّدَ اللهِ عَلَيْهِمْ فَأولئِكَ بَقَايَاهُمْ فِى الأدْيَارِ وَالقَوَامِعِ, فَاعْبُدُواللهَ وَلاَ تُشْرِكُوْابِهِ, وَحُجُّوْا وَاعْتِمَرُوْا وَاسْتَقِيْمُوْا يَسْتَقِمْ بِكُمْ.
Artinya
Beberapa orang sahabat Nabi bermaksud akan menjauhkan diri dari duniawi dan meninggalkan perempuan (tidak kawin dan tidak menggaulinya) serta akan hidup membujang. Maka Rasulullah Saw. Dengan nada marah berkata: “Sesungguhnya orang-orang sebelum kamu hancur lantaran keterlaluan, mereka memperketat terhadap diri-diri mereka, oleh karena itu Allah memperketat juga,mereka itu akan tinggal digereja dan kuil-kuil. Sembahlah Allah dan jangan kamu menyekutukan Dia,berhajilah, berumrahlah dan berlaku luruslah kamu, maka Allah pun akan meluruskan kepadamu.” ( HR.Muslim)

Jelaslah hadits diatas menyuruh atau sangat menganjurkan pernikahan, untuk menghasilkan keturunan. Dan Rasul melarang umatnya seperti rahib-rahib (pendeta) Nasrani yang mana rahib-rahib tersebut mempunyai kepercayaan meniggalkan hidup berumah tangga untuk memperoleh kesucian hidupnya.
Paham para rahib ini sangat bertentangan dengan naluri sebenarnya kemanusian dan moralitas keislaman. Islam tidak mengenal faham  kerahiban dan kebiaraan yang dianut oleh agama nasrani.

C.   Larangan Nikah Mut’ah
Nikah mut’ah adalah nikah untuk jangka waktu tertentu lamanya bergantung pada kesepakatan laki-laki dan wanita yang akan melaksanakannya, bisa sehari, seminggu, sebulan dan seterusnya.
Perbedaan dengan pernikahan biasa:
·      Adanya batas waktu
·      Tidak saling mewarisi, kecuali disyaratkan
·      Tidak ada talak, sebab habis kontrak pernikahan putus
·      Tidak ada nafkah iddah
Pada awalnya Rasulullah memperbolehkan nikah mut’ah untuk para pemuda yang pergi berperang untuk membela agama. Ditempat itu mereka jauh dari istri dan sulit sekali keadaannya, sementara itu kebutuhan biologis harus dipenuhi. Setelah para pemuda itu selesai berperang tidak diperbolehkan lagi melakukan nikah mut’ah.
Hadits Rasul
رَخَّصَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : عَامَ اَوْ طَاسٍ فِى الْمُعْةِ ثَلاَثَةُ اَيَّامٍ ثُمَّ نَهَى عَنْهَا ﴿ رواه مسلم
Artinya :
Rasulullah Saw telah memberikan keringanan pada tahun Authos (perang) untuk melakukan mut’ah tiga hari. Setelah itu beliau melarangnya.”  ( HR. Muslim )
Dalam hadits lain Nabi Saw juga bersabda
يَاأيُّهَا النَّاسُ , إنِّى كُنْتُ اَذَنْتُ لَكُمْ فِى الإسْتِمَتَاعٍ مِنَ النِّسَاءِ وَاِنَّ اللهَ قَدْ حَرَّمَ ذَلِكَ اِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ فَمَنْ عَانَ عِنْدَهُ مِنْهُنَّ شَيْئٌ فَلْيُخَلِّ سَبِيْلَهُ وَلاَ تَأخُذُوْا مِمَّا اَتَيْتُمُوْ هُنَّ شَيْءً.          ﴿ رواه مسلم
Artinya :
“Wahai manusia, dahulu aku mengizinkan  engkau untuk melakukan nikah mut’ah dengan wanita-wanita. Sesungguhnya Allah telah melarang hal itu, segeralah melepaskannya dan janganlah kamu mengambil apa-apa yang telah engkau berikan kepadanya.” ( HR. Muslim )
Yang dapat kita pahami dari mut’ah itu tidak lebih dari pemuasan hawa nafsu. Tidak ada sedikitpun tersirat untuk melakukan ibadah kepada Allah, tolong menolong antara suami istri, sebagai bagian tujuan pernikahan. Dan mut’ah dapat mendatangkan mudharat bagi wanita, mudharat yang lebih besar akan menimpa anak turunannya, seandainya dalam waktu yang singkat membuahkan keturunan.


HUKUM AZDAN KEPADA MAYIT

Suntry Mbeling Kawulo Aliet
ktka mengubur mayit it ada adzan dan iqomat, . ada yang th ndak dasar hukumnya?

JAWABAN :

>> Hasan Bashori 

ﻭﺍﻋﻠﻢ ﺍﻧﻪ ﻻ ﻳﺴﻦ ﺍﻻﺫﺍﻥ ﻋﻨﺪ ﺩﺧﻮﻝ ﺍﻟﻘﺒﺮﺧﻼﻓﺎ ﻟﻤﻦ ﻗﺎﻝ ﺑﺴﻨﺘﻪ ـ ﺇﻟﻲ ﺍﻥ ﻗﺎﻝ ـﻟﻜﻦ ﺇﺫﺍ ﻭﺍﻓﻖ ﺇﻧﺰﻟﻪ ﺍﻟﻘﺒﺮ ﺑﺄﺫﺍﻥ ﺧﻔﻒﻋﻨﻪ ﻓﻰ ﺍﻟﺴﺆﺍﻝ


>> Raden Mas NegeriAntahberantah 
Mas Hasan Bashorie : itu kutipan dr I'anah yah ... ??

وَاعْلَمْ أَنَّهُ لاَ يُسَنُّ الأَذَان عِنْدَ دُخُولِ القَبْرِ، خِلاَفًا لِمَنْ قَالَ بِنِسْبَتِهِ قِيَاسًا لِخُرُوجِهِ مِنَ الدُنْيَا عَلَى دُخُولِهِ فِيْهَا. قَالَ إبنُ حَجَرٍ: وَرَدَدْتُهُ فِى شَرْحِ العُبَابِ، لَكِنْ إِذَا وَافَقَ إِنْزَالُهُ القَبْرَ أَذَانٌ خَفَّفَ عَنْهُ فِى السُّؤَالِ.

إِعَانَةُ الطَّالِبِيْن جُزْ 1ص 230

 
"Ketahuilah bahwasanya tidak disunnahkan ADZAN ketika masuk kubur, berbeda dengan orang yang menishbatkan azan karena meng-qiyas-kan meninggal dunia dengan lahir ke dunia.

Ibn Hajar berpendapat: "Saya menolak pendapat ini dalam kitab Syarah al'Ubab. Tetapi ketika jenazah diturunkan ke dalam kubur bersamaan dengan dikumandangkannya adzan maka jenazah tersebut diringankan dari pertanyaan kubur".

>> Tb Khan Banteny 

Hukum adzan pada telinga kanan dan iqomat pada telinga kiri pada telinga bayi yang baru lahir hukumnya sunnah, gunanya agar bayi trsbt selamat dari gangguan ummish shibyan (sebangsa kuntilanak atau kaong wewe)."Aku melihat Rosulullah, melakukan adzan pd telinga sayidina Hasan ketika di lahirkan oleh syayidah Fatimah dgn adzan shalat, hadits ini adalah shoheh"
(Sunan Tirmidzi juz 1 hal 36).

"barangsiapa yg melahirkan seorang anak, lalu ditelinga kanannya dibacakan adzan dn ditelinga kirinya dibacakan qomat maka anak trsbt tidak akn diganggu oleh ummi syibran".
(I'anatutholibin juz 2 hal 338).

Bagaimana dgn orang yg meninggal ?Hukumnya mengadzani atau mengqomati org yg mati ketika dimasukan ke dlm qubur para ulama berbeda pendapat:1. Ada yg berpendapat sunah2. Ada yg berpendapat tidak sudah.3. Majlis tahkim memilih para ulama yg brpendapat sunah, pertimbangan bahwasany hal trsbt telah dilakukan olh para ulama dri semenjak dlu sampai skrg."Dan tdk disunahkan adzan ketika menurunkan mayat kdlm qubur, pendapat ini berbeda dgn ulama mengatakan sunah diqiyaskan (analog) dgn lahirnya manusia kedunia."
(bajuri juz 1 hal 161) ket sama dlm I'anatutholibin juz 1 hal 230 dan Iqna juz 2 hal 284.

Ket Tuhfatul muhtaz juz 1 hal 461 :"Dan sesungguhny adzan dn iqomah ada digunakan utk shalat.. Memang betul demikian, tetapi kadang bisa di gunakan utk selain sholat, seperti utk mengadzanianak yg baru lahir, orang yg bingung, pingsan, sedang marah, jelek kelakuannya baik dari manusia atau dari hewan,juga biasa dilakukan ketika berkecambuk perang, ketika kebakaran, dan menurut sebagian ulama demikian juga ketika menurunkan mayat ke lubang lahat disamakan kpd waktu dilahirkan biasa diadzani, tapi qiyas ini di dlm kitab Al 'ubad diralat kembali, dan disunahkankembali ketika mengamukny jin, karena ada hadits shoheh yg menerangkan"


Adzan ketika Memakamkan Jenazah

Pertanyaan:
Assalamu’alaikum Ustadz,
Di lingkungan masyarakat saya ada ritual mengadzani orang yang baru meninggal, apakah hal ini memang ada tuntunan dari Rasulullah Muhammad?
Syukron Ustadz, wassalamu’alaikum
Dari: Joekoe

Jawaban:
Wa’alaikumussalam
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah
Terdapat sebuah hadis yang menyatakan,
لَا يَزَالُ الْمَيِّتُ يَسْمَعُ الْأَذَانَ مَا لَمْ يُطَيَّنْ قَبْرُهُ
Mayit masih mendengar adzan selama kuburnya belum diplester dengan tanah.” (HR. Ad-Dailami dalam Musnad Al-Firdaus no. 7587)
Namun hadis ini disepakati para ulama sebagai hadis yang lemah, bahkan palsu. Berikut keterangan para pakar hadis ketika menilai hadis di atas.
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah berkata,
وَإِسْنَادُهُ بَاطِلٌ ، فَإِنَّهُ مِنْ رِوَايَةِ مُحَمَّدِ بْنِ الْقَاسِمِ الطَّايَكَانِيِّ وَقَدْ رَمَوْهُ بِالْوَضْعِ .
“Sanadnya batil, karena hadis ini termasuk riwayat Muhammad bin Al-Qasim Ath-Thayakani, di mana dia telah dicap sebagai pemalsu hadis.” (At-Talkhish Al-Habir, 2:389)
Imam Ibnul Jauzi rahimahullah menuturkan,
هذا حديث موضوع على رسول الله صلى الله عليه وسلم
“Ini adalah hadis palsu atas nama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Al-Maudhu’at, 3:238)
As-Suyuthi menilai, setelah menyebutkan hadis ini:
موضوع الحسن لم يسمع من ابن مسعود
“Palsu, hasan tidak mendengar dari Ibnu Mas’ud.” (Al-La`ali Al-Mashnu’ah, 2:365)
Imam Ad-Dzahabi mengatakan,
فيه محمد بن القاسم الطايكاني كذاب
“Dalam sanadnya terdapat perawi Muhammad bin Qasim At-Thayakani, pendusta. (Talkhis Al-Maudhu’at Ad-Dzahabi, 938)
Kesimpulannya, tidak ada dalil yang menganjurkan adzan ketika memakamkan jenazah.

Komentar ulama tentang adzan ketika memakamkan jenazah

Para ulama dari berbagai madzhab sepakat bahwa sama sekali tidak terdapat anjuran untuk melakukan adzan ketika memakamkan jenazah. Berikut beberapa keterangan mereka
Pertama, Madzhab Hanafi
Ibnu Abidin mengatakan,
أنه لا يسن الاذان عند إدخال الميت في قبره كما هو المعتاد الآن، وقد صرح ابن حجر في فتاويه بأنه بدعة.
“Tidak dianjurkan untuk adzan ketika memasukkan mayit ke dalam kuburnya sebagaimana yang biasa dilakukan sekarang. Bahkan Ibnu Hajar menegaskan dalam kumpulan fatwanya bahwa itu bid’ah.” (Hasyiyah Ibnu Abidin, 2:255)
Barangkali yang dimaksud Ibnu Hajar dalam keterangan Ibnu Abidin di atas adalah Ibnu Hajar Al-Haitami. Disebutkan dalam Al-Fatawa Al-Fiqhiyah Al-Kubra,
مَا حُكْمُ الْأَذَانِ وَالْإِقَامَةِ عِنْدَ سَدِّ فَتْحِ اللَّحْدِ ؟ ( فَأَجَابَ ) بِقَوْلِهِ هُوَ بِدْعَةٌ وَمَنْ زَعَمَ أَنَّهُ سُنَّةٌ عِنْدَ نُزُولِ الْقَبْرِ قِيَاسًا عَلَى نَدْبِهِمَا فِي الْمَوْلُودِ إلْحَاقًا لِخَاتِمَةِ الْأَمْرِ بِابْتِدَائِهِ فَلَمْ يُصِبْ وَأَيُّ جَامِعٍ بَيْنَ الْأَمْرَيْنِ وَمُجَرَّدُ أَنَّ ذَاكَ فِي الِابْتِدَاءِ وَهَذَا فِي الِانْتِهَاءِ لَا يَقْتَضِي لُحُوقَهُ بِهِ .
Tanya: Apa hukum adzan dan iqamah ketika menutup liang lahad?
Jawaban Ibnu Hajar Al-Haitami:
Itu bid’ah. Siapa yang meyakini itu disunahkan ketika menurunkan jenazah ke kubur, karena disamakan dengan anjuran adzan dan iqamah untuk bayi yang baru dilahirkan, menyamakan ujung akhir manusia sebagaimana ketika awal ia dilahirkan, adalah keyakinan yang salah. Apa yang bisa menyamakan dua hal ini. Semata-mata alasan, yang satu di awal dan yang satu di ujung, ini tidaklah menunjukkan adanya kesamaan. (
Al-Fatawa Al-Fiqhiyah Al-Kubra, 3:166).
Kedua, Madzhab Maliki
Disebutkan dalam kitab 
Mawahibul Jalil fi Syarhi Mukhtashar Asy-Syaikh Khalil, penulis mengutip keterangan di Fatawa Al-Ashbahi:
هَلْ وَرَدَ فِي الْأَذَانِ وَالْإِقَامَةِ عِنْدَ إدْخَالِ الْمَيِّتِ الْقَبْرَ خَبَرٌ ؟ فَالْجَوَابُ : لَا أَعْلَمُ فِيهِ وُرُودَ خَبَرٍ وَلَا أَثَرٍ إلَّا مَا يُحْكَى عَنْ بَعْضِ الْمُتَأَخِّرِينَ ، وَلَعَلَّهُ مَقِيسٌ عَلَى اسْتِحْبَابِ الْأَذَانِ وَالْإِقَامَةِ فِي أُذُنِ الْمَوْلُودِ فَإِنَّ الْوِلَادَةَ أَوَّلُ الْخُرُوجِ إلَى الدُّنْيَا وَهَذَا أَوَّلُ الْخُرُوجِ مِنْهَا وَهَذَا فِيهِ ضَعْفٌ فَإِنَّ مِثْلَ هَذَا لَا يَثْبُتُ إلَّا تَوْقِيفًا .
Apakah terdapat khabar (hadis) dalam masalah adzan dan iqamat saat memasukkan mayit ke kubur? Jawab: Saya tidak mengetahui adanya hadis maupun atsar dalam hal ini kecuali apa yang diceritakan dari sebagian ulama belakangan. Barangkali dianalogikan dengan anjuran adzan dan iqamat di telinga bayi yang baru lahir. Karena kelahiran adalah awal keluar ke dunia, sementara ini (kematian) adalah awal keluar dari dunia, namun ada yang lemah dalam hal ini. Karena kasus semacam ini (adzan ketika memakamkan jenazah), tidak bisa dijadikan pegangan kecuali karena dalil shaih.” (Mawahibul Jalil fi Syarhi Mukhtashar Asy-Syaikh Khalil, 3:319)
Ketiga, Madzhab Syafi’i
Imam Abu Bakr Ad-Dimyathi menegaskan,
واعلم أنه لا يسن الأذان عند دخول القبر، خلافا لمن قال بنسبته قياسا لخروجه من الدنيا على دخوله فيها .
“Ketahuilah, sesungguhnya tidak disunahkan adzan ketika (mayit) dimasukkan ke kubur. Tidak sebagaimana anggapan orang yang mengatakan demikian karena menyamakan keluarnya seseorang dari dunia (mati) dengan masuknya seseorang ke dunia (dilahirkan).” (I’anatuth Thalibin, 1:268)
Hal senada juga dinyatakan Al-Bajirami:
وَلَا يُنْدَبُ الْأَذَانُ عِنْدَ سَدِّهِ خِلَافًا لِبَعْضِهِمْ
“Tidak dianjurkan mengumandangkan adzan ketika menutup lahad, tidak sebagaimana pendapat sebagian mereka.” (Hasyiyah Al-Bajirami ‘ala Al-Manhaj, 5:38)
Keempat, Madzhab Hambali
Ibnu Qudamah berkata,
أجمعت الأمة على أن الأذان والإقامة مشروع للصلوات الخمس ولا يشرعان لغير الصلوات الخمس لأن المقصود منه الإعلام بوقت المفروضة على الأعيان وهذا لا يوجد في غيرها .
“Umat sepakat bahwa adzan dan iqamat disyariatkan untuk shalat lima waktu dan keduanya tidak disyariatkan untuk selain shalat lima waktu, karena maksudnya adalah untuk pemberitahuan (masuknya) waktu shalat fardhu kepada orang-orang. Dan ini tidak terdapat pada selainnya.” (Asy-Syarh Al-Kabir, I:388)
Semua keterangan di atas mengerucut pada satu kesimpulan bahwa mengumandangkan adzan ketika memakamkan jenazah adalah perbuatan yang bertentang dengan sunnah, atau dengan ungkapan yang lebih tegas, itu bid’ah yang terlarang.
Allahu a’lam
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah)
Artikel www.KonsultasiSyariah.com









Abu Abdillah Muhammad bin Abu Bakar bin Ayyub bin Sad al-Zar'i atau lebih dikenal dengan Ibnul Qayyim al-Jauziyyah didalam kitabnya Tuhfatul Wadud bi-Ahkamil Maulud (1/30) menjelaskan tentang kesunnahan mengadzankan ditelinga kanan dan iqamah ditelinga kiri pada bayi yang baru lahir. Ia menyebutkan beberapa riwayat berkenaan dengan hal tersebut. [1]

Dalam kitab yang sama (1/31), Ibnul Qayyim juga mengungkap beberapa rahasia dibalik kumandang adzan pada telinga bayi.

وسر التأذين والله أعلم أن يكون أول ما يقرع سمع الإنسان كلماته المتضمنة لكبرياء الرب وعظمته والشهادة التي أول ما يدخل بها في الإسلام فكان ذلك كالتلقين له شعار الإسلام عند دخوله إلى الدنيا كما يلقن كلمة التوحيد عند خروجه منها وغير مستنكر وصول أثر التأذين إلى قلبه وتأثيره به وان لم يشعر مع ما في ذلك من فائدة أخرى وهي هروب الشيطان من كلمات الأذان وهو كان يرصده حتى يولد فيقارنه للمحنة التي قدرها الله و شاءها فيسمع شيطانه ما يضعفه ويغيظه أول أوقات تعلقه به
وفيه معنى آخر وهو أن تكون دعوته إلى الله وإلى دينه الإسلام وإلى عبادته سابقة على دعوة الشيطان كما كانت فطرة الله التي فطر عليها سابقة على تغيير الشيطان لها ونقله عنها ولغير ذلك من الحكم

“Dan sirr(rahasia) mengadzani bayi, Wallahu A’lam: yaitu supaya yang
 didengarkan manusia pertama kali adalah ucapan yang mengandung kebesaran Rabb dan keagungan-Nya serta syahadat yang pertama kali memasukkanya kedalam islam, jadi ibarat men-talqinkan-nya tentang syiar Islam ketika memasuki dunia, sebagaimana dia ditalqin ketika keluar dari dunia, dikarenakan juga sampainya pengaruh adzan kedalam hatinya tidak dan kesan adzan pada dirinya tidak dipungkiri, meskipun dirasakan ada faedah lain dalam hal itu, yaitu larinya setan dari kalimat adzan, dimana setan senantiasa menunggunya kelahirannya, lalu menyertainya karena takdir Allah dan kehendak-Nya, maka dengan itu setan yang menyertainya mendengar sesuatu yang melemahkannya dan membuatnya marah sejak pertama mengikutinya.

Dalam hal itu ada hikmah lain yaitu
 supaya seruan kepada Allah dan agama Islam serta ibadahnya mendahului dakwahnya setan. Sebagaimana Allah telah menciptakannya diatas fitrah tersebut untuk mendahului perubahan yang dilakukan setan kepadanya, serta hikmah-hikmah lainnya”




asalammu'alaikum.....mw tanya nih....kemarin sore,,tepatnya habis maghrib,anak saya telah lahir,alhamdulilah laki2. .pertanyaan saya..apakah boleh orang yg mengadzankan anak saya keluarga sendiri,seperti mertua dsb,,,sebab saya berada di bekasi blum bisa pulang.sedangkan istri saya di lampung...mohon jawabannya..terima kasih....

JAWABAN :

• Ziif Kaf 
wa'alaikum salam......
copas dok piss,,,,,,

>> Alif Jum'an Azend
Adzan untuk Bayi yang Baru Dilahirkan Anak merupakan karunia yang diberikan Allah SWT kepada sebuah keluarga. Namun anak juga merupakan amanah yang mesti dijaga, dirawat serta dididik oleh kedua orang tuanya. Mendidik anak sudah harus dimulai sebelum anak itu lahir kedunia, tidak hanya dilakukan setelah ia besar. Salah satu bentuk pendidikan terhadap anak yang sering dilakukan dalam tradisi masyarakat kita adalah membacakan adzan dan iqamah ketika anak tersebut baru saja dilahirkan. Bagaimana hukumnya melakukan hal tersebut? Apakah pernah diajarkan Rasulullah SAW? Para ulama sepakat bahwa sunnah hukumnya mengumandangkan adzan dan iqamah pada saat seorang bayi terlahir ke dunia.
Dalam Al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu, juz I, hal 61 dinyatakan bahwa adzan juga disunnahkan untuk perkara selain shalat.
Di antaranya adalah adzan di telinga anak yang baru dilahirkan.
Seperti halnya sunnnah untuk melakukan iqamah di telinga kirinya. Kesunnahan ini dapat diketahui dari sabda Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Abi Rafi’ :

ﻋَﻦْ ﺃﺑِﻲ ﺭَﺍﻓِﻊٍ ﺃﻧَّﻪُ ﻗَﺎﻝَ, ﺭَﺃﻳْﺖُ ﺭَﺳُﻮْﻝَ ﺍﻟﻠﻪِ ﺻَﻠّﻲ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻠَﻴْﻪِ ﻭَﺳَﻠَّﻢَ ﺃﺫَّﻥَ ﻓِﻲْ ﺃﺫُﻥِ ﺍﻟﺤُﺴَﻴْﻦِ ﺣِﻴْﻦَ ﻭَﻟَﺪَﺗْﻪُ ﻓَﺎﻃِﻤَﺔُ ﺑِﺎﻟﺼَّﻼَﺓِ -- ﺳﻨﻦ ﺃﺑﻲ ﺩﺍﻭﺩ

Dari Ubaidillah bin Abi Rafi’ ia berkata:
" Aku melihat Rasulullah SAW mengumandangkan Adzan di telinga Husain ketika siti fatimah melahirkannya. (Yakni) dengan Adzan shalat."
(HR Abi Dawud).

Lalu tentang fadhilah dan keutamaannya, Sayyid Alawi al- Maliki dalam Majmu’ Fatawa wa Rasa’il menyatakan bahwa mengumandangkan adzan di telinga kanan dan iqamah di telinga kiri hukumnya sunnah. Para ulama telah mengamalkan hal tersebut tanpa seorangpun mengingkarinya.

Sayyid Alawi menyatakan, perbuatan itu ada relevansinya untuk mengusir syaitan dari anak yang baru lahir tersebut. Karena syaitan akan lari terbirit-birit ketika mereka mendengar adzan sebagai mana yang keterangan yang ada dalam hadits. Dengan demikian jelaslah hukum dan fungsi mengumandangkan adzan dan iqamah untuk anak yang baru lahir. kalau lupa nggak diadzani berarti tidak sunnah diqodho, krn yg sunnah itu yg baru saja lahir... Adzan dan iqomah di sini mungkin disamakan pelakunya dg adzan iqomah shalat yg sunnah nya bagi kaum lelaki.

>> Abdurrahman As-syafi'i
wa'alaikum salam wr.wb..
Hukum mengadzani bayi yg baru lahir adalah SUNAH, jadi seandainya lupa, maka tidak jadi apa

ﻭ ﻳﺴﻦ ﺍﻻﺫﺍﻥ ﻭﺍﻻﻗﺎﻣﺔ ﻓﻲ ﺍﺫﻧﻲ ﺍﻟﻤﻮﻟﻮﺩ ،ﻭﻳﻜﻮﻥ ﺍﻻﺫﺍﻥ ﻓﻲ ﺍﻟﻴﻤﻨﻰ ﻭﺍﻻﻗﺎﻣﺔ ﻓﻲ ﺍﻟﻴﺴﺮﻯ . ﻭﺫﺍﻟﻚ ﻟﻤﺎ ﻗﻴﻞ : ﺍﻥ ﻣﻦ ﻓﻌﻞ ﺑﻪ ﺫﺍﻟﻚ ﻟﻢ ﺗﻀﺮﻩ ﺍﻡ ﺍﻟﺼﺒﻴﺎﻥ ، ﺍﻱ ﺍﻟﺘﺎﺑﻌﺔ ﻣﻦ ﺍﻟﺠﻦ، ﻭﻟﻴﻜﻮﻥ ﺍﻭﻝ ﻣﺎ ﻳﻘﺮﻉ ﺳﻤﻌﻪ ﺣﺎﻝ ﺩﺧﻮﻟﻪ ﻓﻲ ﺍﻟﺪﻧﻴﺎ ﺍﻟﺬﻛﺮ . ﻭ ﻳﺸﺘﺮﻁ ﻓﻲ ﺍﻟﻤﺆﺫﻥ ﺍﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﺫﻛﺮﺍ ﻣﺴﻠﻤﺎ، ﻭ ﻓﻲ ﺍﻟﻤﻮﻟﻮﺩ ﺍﻥ ﻳﻜﻮﻥ ﻭﻟﺪ ﻣﺴﻠﻢ ﻻﻥ ﺍﻻﺫﺍﻥ ﻣﻦ ﺟﻤﻠﺔ ﺍﺣﻜﺎﻡ ﺍﻟﺪﻧﻴﺎ ﻭ ﺍﻭﻻﺩ ﺍﻟﻜﻔﺎﺭ ﻣﻌﺎﻣﻠﻮﻥ ﻣﻌﺎﻣﻠﺔ ﺍﺑﺎﺋﻬﻢ ﻓﻴﻬﺎ ﻭﺍﻥ ﻭﻟﺪﻭﺍ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻔﻄﺮﺓ. ﺍﻋﺎﻧﺔ ﺍﻟﻄﺎﻟﺒﻴﻦ ١/٢٦٧

Disunahkan adzan dan iqomah pada ke-2 telinga bayi yg baru dilahirkan.yaitu Adzan dikumandangkan ditelinga kanan,dan iqomah ditelinga kiri.barang siapa yg melakukan hali ini,maka bayi yg baru lahir tsb akan jauh dari gangguan jin.dan sebaiknya pertama kali hal yg didengar oleh bayi yg baru dilahirkan didunia adalah dzikir.Disyaratkan bagi muadzin adalah seorang laki laki,d yg muslim dan bayi yg dilahirkan adalah anak orang islam.karena adzan adalah bagian dari hukum hukum dunia.dan anak2 org2 kafir biasanya berbuat seperti apa yg dilakukan oleh orang tuanya didunia walaupun ia dilahirkan dalam keadaan suci.









0 komentar:

Posting Komentar